FF14: Ini Bukan Judul Terakhir

1 comment
Ini Bukan Judul Terakhir
Oleh: Ifnur Hikmah

Someday.

Sebuah buku bersampul biru muda berlatar belakang lautan dan siluet seorang perempuan berambut panjang tergeletak di atas meja kantorku. Barisan huruf membentuk kata ‘Someday’ yang dicetak besar di bagian tengah buku begitu mencolok perhatian.

Kuambil buku itu dan membaca bagian belakangnya.

Andre. Aku akan menunggumu kembali ke pelukanku. Tidak peduli berapa lama waktu yang kubutuhkan untuk membawamu pulang. Kamu tahu sayang, ketika aku menatap pesawat saat take off, seluruh ingatanku tertuju padamu. Pesawat itulah yang membawamu pergi. Namun aku yakin, suatu hari nanti, pesawat itu pulalah yang akan membawamu pulang. Someday.

Andre merasa kehidupannya mencapai titik terendah saat kekasihnya, Alaya, memutuskan hubungan mereka dan pindah ke New York. Bagi Alaya, long distance relationship is a silly thing.

“Aku tidak mau membuang-buang waktu untuk sesuatu yang tidak pasti. Suatu hari nanti, kita akan bertemu kembali, jika jalannya memang begitu.”

Kalimat terakhir Alaya selalu berhasil melecut semangat Andre. Demi Alaya, dia menjalani hari demi hari menuju ‘someday’ yang dijanjikan Alaya. Tanpa lelah Andre menunggu dengan harapan yang tidak pernah menipis.

Akankah ‘someday’ itu akan kembali untuk Andre?

Aku terhenyak di kursiku. Tidak perlu membuka buku itu untuk tahu apa isinya. Tidak perlu berkenalan dengan Andre dan Alaya untuk tahu kisah mereka.

Perlahan-lahan tanganku terulur membuka plastik yang membungkus buku tersebut. Dengan tangan gemetar aku merobek plastik itu. Kususuri tulisan SOMEDAY dengan jemariku. Ketika jariku mulai menyentuh nama Seno Adipradja, sekelumit kesedihan merasuki bilik hatiku.

Seno…

Kubuka sampul tebal berwarna biru itu. Sebuah paragraf singkat menyapa pandanganku.

My dear Alika Rahma. I'll keep waiting for the day when we meet again, no matter how long it should wait. Because I'm sure, someday we will meet again. Someday, Alika.

Aku terpana. Masihkah kamu menungguku, Seno? Lima tahun sudah berlalu semenjak perpisahan kita.

***

“Alika.”

Seruan itu menyentakku. Spontan buku yang sedang kupegang terjatuh ke lantai.

“Kamu mengagetkanku saja,” sergahku seraya berjongkok dan memungut buku itu.

“Maaf.”

Aku berusaha untuk tersenyum meski berat. Tujuh tahun, Seno, kita tidak pernah bertemu lalu hari ini aku membulatkan tekad untuk menemuimu. There is unfinished business between us. Meski beribu kilometer memisahkan New York dan Jakarta, unfinished business tersebut masih saja membelenggu kita. Serasa ada rantai yang mengikat kakiku di Jakarta ini dan tidak bisa membuatku leluasa bergerak.

Rantai itu adalah kamu dan kenangan kita, Seno.

Aku ingin melanjutkan hidupku. Itulah alasan kepulanganku. Untuk mengurai rantai yang mengikat kakiku.

“Aku senang kamu pulang.”

Spontan aku tergerak mundur ketika Seno menampilkan gelagat ingin memelukku. Tak ayal tindakanku membuat segores kekecewaan muncul di wajah yang selalu teduh itu.

“Maaf,” ujarku lirih.

Seno tersenyum kecut. Melihat itu, kembali rasa bersalah menderaku. Rasa bersalah yang mengungkungku tujuh tahun terakhir.

“Aku ingin kamu melepaskanku, Seno.”

“Melepaskanmu?”

“Aku akan menikah tiga bulan lagi.”

Kali ini giliran buku di tangan Seno yang meluncur ke lantai. Sepertinya dia tidak berniat untuk mengambil buku itu kembali.

“Aku pulang untuk memberitahumu, agar kamu melepasku dan berhenti menungguku.”

“Mengapa?” Ada getar tertangkap oleh telingaku di balik pertanyaan itu.

“Hubungan kita sudah berakhir tujuh tahun lalu. Sudah saatnya kamu bergerak maju, bukan terkurung dalam lipatan kenangan itu.”

“Aku mencintaimu, Alika.”

“Aku juga mencintaimu, Seno, tapi itu dulu. Sekarang aku sudah memiliki pelabuhan baru untuk hatiku.”

Aku tahu ucapanku itu hanya menambah luka di hati Seno. Tujuh tahun lalu, akulah yang meninggalkannya karena melanjutkan kuliah di Amerika. Seno melepasku dengan janji untuk menungguku. Namun aku tahu aku tidak akan pernah pulang ke pelukannya. Saat itu, aku benar-benar yakin. Tapi ternyata Seno masih menungguku –setidaknya itulah yang kubaca dari buku yang dikirimkannya kepadaku dua tahun lalu.

“Lepaskan aku, Seno. Hiduplah di masa sekatang.”

Tanpa berkata apa-apa, Seno memungut buku yang tadi terjatuh ke lantai dan berlalu meninggalkanku. Dia menatapku sesaat, sekadar memperlihatkan luka yang terpancar di matanya.

Maafkan aku, Seno. Maaf.

***

End of Time.

Sebuah buku bersampul coklat muda bergambar rumah kayu dan pepohonan dengan tulisan “End Of Time” berukuran besar terletak di atas meja kerjaku. Buku itu kembali menyentakku. Tidak, nama penulisnyalah yang menyentakku.

Seno Adipradja.

Satu tahun berlalu semenjak aku bertemu kekasih masa laluku itu. Satu tahun berlalu semenjak aku kembali melukai Seno, untuk kedua kalinya.

Dengan menabahkan hati, aku membuka sampul buku itu. Sama seperti buku-buku sebelumnya, halaman pertama berisi paragraf singkatp erihal isi hati Seno.

My dear Alika Rahma. Ketika lisan kita tidak lagi bertemu, hanya tulisanlah yang bisa kukirimkan untukmu. Ini bukan judul terakhir, Alika. Akan ada judul-judul selanjutnya karena aku masih mencintaimu, till the end of time.

Tanpa bisa dicegah air mata mengaliri pipiku. Maaf, bisikku lirih.


SHARE:
Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

1 comment

BLOG TEMPLATE CREATED BY pipdig