The Hardest Goodbye

Leave a Comment

The Hardest Goodbye
Oleh: Ifnur Hikmah

“I wanna go.”
“Pergi aja kali, ngapain pakai minta izin segala,” balasku, sepenuhnya bercanda.
Namun kilat yang bermain di matamu sama sekali tidak terlihat sedang bercanda. Kamu menatapku serius dengan tangan ditopangkan ke setir mobil.
Aku menatapmu dengan dahi berkerut. Oke, sepertinya sekarang bukan waktu yang tepat untuk bercanda. Seharusnya sedari tadi aku sudah mencium ada something serious yang ingin kamu bicarakan. Seharusnya aku sudah bisa menebak ada yang mengganjal pikiranmu saat memintaku, atau tepatnya memaksa, untuk menunda kepulanganku. Kamu menarikku ke mobilmu dan menjatuhkan kalimat itu.
“Aku serius.”
“Kamu mau pergi kemana?”
“Sekarang hari terakhirku di sini.”
Ucapanmu itu serasa petir di siang bolong. Hari terakhir? Itu berarti… “Kamu resign?”
Anggukan kepala yang kamu hadirkan seketika melemaskan otot-ototku. Bagaimana mungkin kamu memutuskan untuk keluar? Secepat itu? Baru tiga bulan yang lalu kamu datang ke kantor ini dan berkenalan denganku, lalu sekarang kamu memutuskan untuk pindah?
Tidak, itu tidak boleh terjadi. Maksudku, aku belum siap berpisah secepat ini denganmu.
“Kok mendadak?”
“Kamu ingat Burson-Marsteller?”
Aku mengangguk. Seingatku, bulan lalu kamu pernah selintas berkata kalau PR Firm itu menawarkan posisi yang bagus untukmu. Hanya saja waktu kutanya lebih lanjut, kamu bilang belum memiliki jawaban pasti.
“Kenapa mendadak?”
“Maaf. Aku baru memberitahumu sekarang.”
Seketika aku pun menampilkan wajah cemberut. “Kenapa baru ngasih tahu aku sekarang?”
“Maaf. Aku nggak mau bikin kamu kepikiran kalau aku bilang dari kemaren-kemaren.”
Kualihkan pandangan dari wajahmu yang menyiratkan rasa bersalah itu. Haruskah aku marah karena kamu baru mengabariku sekarang, atau sedih karena besok tidak ada kamu lagi disini, atau bahagia atas pencapaian barumu? Burson-Marsteller. Demi tuhan, kalau aku jadi kamu, tentu saja aku rela pindah ke perusahaan bertaraf internasional itu.
“Kamu baik-baik ya disini. Maaf kalau selama ada aku, kamu jadi sering kena masalah. Mudah-mudahan, kalau aku udah nggak disini lagi, nggak ada yang nyinisin kamu ya.”
Aku masih menatap keluar jendela. Tatapanku terpaku ke gedung perkantoran yang menjadi saksi kebersamaan kita selama tiga bulan ini.
Tiga bulan. Bukankah itu waktu yang singkat? Tapi, di waktu sesingkat itu, kamu sudah menancapkan pengaruhmu di hatiku. Selama tiga bulan ini aku terbiasa bersamamu. Lalu besok, semuanya akan hilang.
Aku akan kehilangan teman sarapan bubur ayam di mobil. Tiga bulan lalu, kamu menawariku sarapan hanya karena kasihan melihatku yang nyaris pingsan setiap pagi karena tidak sempat sarapan dan harus berdesak-desakan di kereta. “Makanya, jangan tinggal di Bogor. Sini pindah ke apartemenku,” ujarmu di hari ketiga kita sarapan bareng. Sebuah tawaran yang menggiurkan tapi tentu saja tidak bisa kuterima demi menjaga citra diriku.
Aku akan kehilangan imam shalat Zhuhur dan Ashar. Karena kamulah, aku jadi sedikit alim karena tidak pernah lagi meninggalkan shalat dengan alasan sibuk. Meski kamu mengajakku shalat dengan cara menoyor kepalaku, kurasa itu bisa dikategorikan romantis. Dan ya, aku masih ingat ucapanmu minggu lalu, saat kita selesai shalat Ashar. “Next time, suamimu ya yang jadi imam shalatmu. Cari suami yang bisa jadi imam ya.” Aku tahu aku tidak bisa menggantungkan harapan itu padamu, tapi ucapanmu itu terdengar sangat manis.
Aku akan kehilangan atasan gila yang pasrah saat kuajak kabur ke Grand Indonesia hanya untuk menonton Real Steel siang-siang. Katamu, kamu sudah menonton film itu. Aku juga sudah menontonnya. Tapi aku ingin menontonnya denganmu. Waktu itu kamu bilang, “Kalau aku jadi ayah, apa aku bisa jadi ayah yang baik ya?” Aku ingat saat itu aku memijat pundakmu dan berkata, “You will be a great father. Trust me.” Aku percaya itu karena kamu lelaki berhati lembut yang pernah kukenal.
Aku ingat saat perayaan pesta akhir tahun kantor ini dan cincin yang kamu berikan untukku. What a coincidence. Aku tidak menyangka bisa menerima kado darimu. Tapi, cincin itu tidak berarti apa-apa karena kamu telah lebih dulu menyematkan cincin di jari perempuan lain. Aku tidak mempermasalahkannya. Toh, we’re just friend, right? Meski orang-orang melihat kita lebih dari sekedar teman.
Aku ingat momen pergantian tahun dan kita merayakannya bersama, sekaligus merayakan hari jadimu yang ke-30. Our heart to heart conversation. Saat itu, aku beruntung telah mengenalmu. Perhatian yang kamu berikan saat aku menyerah terhadap dia dan kenyamananmu berbagi rahasia denganku.
Aku ingat tindakan konyol yang kita lakukan beberapa minggu lalu. Sepulang kembur, kamu memaksa untuk mengantarku pulang karena sudah pukul sepuluh lebih. Saat aku tengah tidur-tidur ayam, samar-samar kulihat papan penunjuk jalan tol dan kusadari kalau kamu sudah jauh melenceng dari tujuan semula, Bogor. “Kita mau kemana?” tanyaku. “Bandung,” jawabmu. Penculikan. Kamu hanya tertawa. “Be spontaneous. Kapan lagi coba kita getaway ke Bandung.”
“Tapi besok Kamis. Kita masih harus kerja.” Kamu hanya menanggapi dengan belaian di rambut. “Kita pulang besok pagi,” sahutmu. Benar saja. Dengan mata terkantuk dan badan pegal-pegal karena tidur di mobil, kita kembali ke Jakarta, mampir sebentar di pasar kaget dan membeli baju, dan mengabaikan tatapan aneh orang di kantor yang melihat kita masih mengenakan pakaian kemaren. Pasti banyak pikiran negatif melintas di benak mereka. Kamu tersenyum menenangkanku dan menyuruhku mengabaikannya. Aku menurut. Tidak penting juga omongan orang lain karena getaway dadakan ke Bandung itu seru juga.
Aku menghela nafas. Hanya tiga bulan kebersamaan kita, tapi mengapa ada begitu banyak cerita? Mulai besok, siapa lagi teman impulsifku ke Sabang demi nasi goreng atau cuma duduk-duduk bego menunggu three in one lewat di Monolog atau 7/11? Tidak ada. Siapa lagi yang suka iseng buzz YM-ku siang-siang, mengirimi pesan-pesan konyol atau gambar-gambar lucu? Siapa lagi yang suka mencuri-curi baca bbmku, menghabiskan tisu di mejaku, atau mendatangi mejaku setiap jam untuk mengambil permen? Tidak ada.
Ah. Belum apa-apa aku sudah merindukanmu.
“Good luck in your new place ya,” ujarku akhirnya. Mau tidak mau aku harus merelakanmu. Siapa aku yang bisa melarangmu? Aku bukan siapa-siapa kamu.
“You too. Kudoain deh kamu cepat keluar dari this shitty place.”
Aku terkekeh. “I’m gonna miss you.”
Kamu menenggelamkanku ke dalam pelukanmu –pelukan yang tidak akan kurasakan lagi nanti.
Meskipun aku sering berpisah dengan rekan kerjaku, inilah sata terberat yang pernah kurasakan. Mungkin aku yang sudah terlanjur larut terlalu jauh dalam buaianmu. Mungkin.
“Good bye.”
This is the hardest goodbye I've ever had.
SHARE:
0 Comments

Step by Step

2 comments

Step by Step

Oleh: Ifnur Hikmah


Apa yang diharapkan oleh seorang hopeless romantic saat dilamar? Berbuket-buket bunga, candle light dinner, alunan musik jazz nan romantis, barisan kata-kata gombal bernada manis, cincin bermata berlian yang berkilauan ditiimpa sinar lampu di restoran mewah, pemandangan kota saat malam dari atas ketinggian lantai 30, dan janji untuk happily ever after? Percayalah, hingga di usiaku yang hampir menginjak kepala tiga, sisi romantisme –yang sayangnya berlebihan- masih kupertahankan.

Namun, saat satu-satunya momen romantis yang diberikan Panji hanyalaah terjebak macet di Sudirman, dan Jamie Cullum mengalun dari stereo and he kiss me passionately, kurasa keinginan untuk merasakan lamaran super romantis hanya tinggal angan belaka. Lagipula, alih-alih merasakan lamaran super romantis, pembicaraan sekilas mengenai niatnya untuk mengajakku ke jenjang pernikahan saja tidak pernah.

Yeah, boys always weill be boys. Selama dia masih sering membatalkan janji kencan denganku di malam Minggu hanya karena Arsenal sialan itu tanding, rasanya keinginan untuk membina rumah tangga masih berada jauh di depan matanya.

Argh… aku menarik nafas putus asa.

Well, mungkin aku tidak akan kesetanan seperti ini jika saja orang tuaku tidak mendesak.

“Kamu tahu kan nduk kalau bapak udah tua?”

Aku hanya mengangguk. Usia 65 tahun memang sudah tua, tapi ayahku yang pensiunan TNI ini masih terlihat segar kok di usia segitu.

“Ibu juga, nduk.”

Begitupun dengan ibuku. Aku berharap masih bisa secantik dan seanggun dia saat sudah berumur nanti.

“Kamu tiap kali Bapak tanya cuma ngangguk-ngangguk, nggak pernah ngasih jawaban.”

“Jawaban apa, Pak?”

“Kapan kamu nikah?”

Strike one.

Aku bukannya belum siap untuk membina rumah tangga. Sumpah demi Tuhan, lahir bathin aku siap. The husband-to-be? Checked. Financial? Checked. Restu orang tua? Dari kapan tahu udah dapet. Love each other? Banget –bahkan cintaku sama Panji lebih besar daripada cinta pada diri sendiri. Jadi, tunggu apalagi?

Ya tunggu Panji melamarku.

Nah, jika Bapak bertanya kapan aku akan menikah, aku juga bertanya, kapan Panji akan melamarku?

“Kamu besok mau kemana?”

Aku tersentak. Sepertinya Panji bertanya sesuatu?

“Dew?”

“Ya?”

“Kamu ngelamun ya?”

Bukan melamun, Panji, tapi mikirin masa depan kita.

“Aku nanya kamu besok mau kemana?”

“Belum tahu.”

“Nggak jadi pulang?”

“Aku baru aja pulang minggu lalu. Bapak nanya kamu kenapa nggak ikut. Aku bilang kamu lagi ke Surabaya.”

Meskipun orangtuaku tinggal di Bogor, aku memutuskan untuk menyewa apartemen sendiri di Jakarta. Jalanan macet kujadikan alasan padahal alasan utamaku hanyalah karena orang tuaku sudah sibuk menyuruhku menikah sejak lima tahun lalu. Suruhan itu kian menjadi-jadi setelah aku pacaran dengan Panji, pria yang langsung mendapat prediket calon menantu idaman dari ibuku.

“Bapak dan ibu sehat?”

Aku mengangguk.

Lalu keheningan kembali menjelma diantara kami.

Kadangkala jalanan macet bisa menimbulkan suasana romantis dengan sendirinya. Saat mataku menoleh ke sebelah kiri, kulihat pasangan yang ada di mobil sebelah sedang berciuman. Kutaksir usia mereka masih di awal dua puluhan, masih memiliki jiwa yang menggelora.

“Dasar bocah.” Kudengar Panji bergumam. “Kayak nggak bisa nunggu sampai tiba di rumah aja.”

Aku terkikik. “Seingatku dulu juga ada yang nggak sabaran sampai maksa ceweknya ciuman di mobil.”

Panji menjawil hidungku. “Aku nggak pernah maksa ya. Kamunya aja yang nggak pernah bisa nolak.”

He’s such a damn good kisser, bagaimana aku bisa menolak?

Kembali mataku melirik ke mobil sebelah. Mereka sudah selesai berciuman tapi masih saling merangkul. Bisa saja sekarang ini mereka tengah merencanakan masa depan. Shit! Mereka masih terlalu muda untuk membicarakan hal serius itu. Seharusnya aku dan Panji-lah yang sibuk membahas masalah ini. Namun Panji sama sekali tidak menyinggungnya. Alih-alih dia malah asyik menyanyi mengikuti lagu jadul milik NKOTB. Coba ya yang diputer tuh Jamie Cullum atau Diana Krall, mungkin aku bisa mengorek sedikit jiwa romantis Panji. Tapi NKOTB? Yang ada Panji malah sibuk joget-joget norak sendiri.

Nasib… nasib…

“Aku paling suka nih Step bu Step.” Tiba-tiba Panji menyeletuk.

“Kamu sudah bilang itu 299 kali.”

Panji terkekeh. “Kamu ngitungin?”

Awalnya aku tidak berniat, tapi itu terjadi dengan sendirinya karena Panji selalu melontarkan kalimat yang sama setiap hari sampai-sampai aku eneg. Menghitung berapa kali pria yang kamu cintai melontarkan kalimat seputar lagu favoritnya sama sekali bukan tindakan romantis ya?

“Kalau aku bilang sekali lagi, aku paling suka Step by Step, berarti sudah masuk hitungan ke-300 ya?”

“Lucu, Ji, lucu.” Aku tertawa garing.

Panji ikut tertawa, tetapi kali ini tangannya terulur menyentuh rambutku. Sebuah kemajuan dari seorang Panji Purnadiredja.

“Tapi aku belum bilang kan alasan aku menyukai lagu ini?”

Aku menggeleng. Pipiku terasa panas akibat sentuhan Panji. Dewinta norak, kayak baru pertama kali pacaran aja. Aku memaki diriku sendiri.

“Kamu dengerin part ini deh.”

Aku pun menuruti perkataannya dengan mendengarkan lagu yang, jujur ya, nggak ada bagus-bagusnya ini.

Step one, We can have lots of fun

Step two, There's so much we can do

Step three, It's just you and me

Step four, I can give you more

Step five, Don't you know that the time is right

“Don’t you know that the time is right, Dewinta Maharani?”

Aku menggeleng.

“Don’t you know that the time is right for me to ask you to be my wife?”

Kalimat yang diucapkan dengan nada santai, sesantai dia mengucapkan “Aku numpang nonton bola di apartemenmu ya, Dew”, ini sukses membuatku melongo.

“Aku memang nggak pernah bisa menyaingi jiwa romantismu itu. For God sake, Dew, harusnya aku yang ngirimin kamu kartu lucu-lucu atau pesan-pesan konyol, tapi yang terjadi malah kebalikannya. Aku nggak romantis bukan karena aku nggak sayang sama kamu. Aku cinta sama kamu, tapi aku ya begini.”

Mulutku semakin menganga lebar. Panji memang tidak pernah romantis, tapi setiap tindakannya selalu penuh kejutan. Memintaku jadi istrinya di tengah-tengah macet? Entahlah, rasanya itu sungguh manis.

“Pertama, aku janji akan memberikan kebahagiaan untukmu. Kedua, kita bisa ngelakuin banyak hal gila berdua, like we always did. Ketiga, hanya ada kita berdua, tinggal bersama, nggak kepisah lagi. Keempat, I give you everything because I love you so much. Dan kelima, don’t you know that the time is right for me to ask you to be my wife?”

Tanpa berkata apa-apa, aku refleks memeluk Panji. Forget about candle light dinner, view from 30th floor, flowers, romantic yet cheesy sentences and all romantic things that I want because right now, this is the most romantic thing that ever happened to me.

Meski nggak ada lagu jazz, hanya suara cempreng NKOTB.

Meski nggak ada restoran mewah, hanya jalanan macet Sudirman.

Meski nggak ada candle light dinner, hanya sekotak pizza dingin.

Meski nggak ada cincin bertahtakan berlian, hanya kecupan singkat di dahi.

Tapi yang penting, ada aku dan Panji.


PS: Kepikiran karena lagi dengerin Step by Step NKOTB dalam rangka pemanasan menuju konser mereka.

SHARE:
2 Comments

Ada Apa Dengan 15?

1 comment
Ada Apa Dengan 15?

Anything can happen in 15 days.

Nggak percaya? Well, itu terserah lo sih, hehehe.

Banyak hal bisa terjadi dalam 15 hari. Seseorang bisa jatuh cinta dalam hari, pacaran hanya 15 hari, dari mesra-mesraan jadi benci-membenci dalam 15 hari, pengangguran 15 hari *curcol*, 15 hari mencari jodoh, dan lain-lain.

Sebenarnya ada apa sih dengan 15 hari? Well, ini tentang kegiatan yang baru aja gue jalani.

Semuanya berawal dari keasyikan melihati timeline trus ada yang nge-RT twitnya @WangiMS dan @momo_DM. Well, gue nggak follow mereka ya awalnya. Katanya, ini dua orang, yang entah kurang kerjaan apa kerajinan banget, lagi bikin proyek #15HariNgeblogFF. Intinya itu, yang ikutan disuruh bikin flash fiction dari judul yang sudah ditentukan selama 15 hari berturut-turut trus diposting di blog.

Waktu itu gue berpikir, seru juga kali ya? Dari pemikiran iseng lalu berlanjut jadi rutintas.

Jadi, setiap hari kerjaan gue, sebelum mulai kerja ya, kunjungin blognya Wangi, liat judul, bengong lima menit, trus nulis, lalu posting. Trus blogwalking ke blog lain yang ikutan juga. Padahal nih ya, gue nggak tahu juga ini yang punya blog siapa, hehehe.

Keuntungannya? Well, dalam proyek ni gue bikin deadline sendiri. 30 minutes for one F. Gila? Bodo amat. Kapan lagi gue bisa nantangin diri sendiri, hehehe. Jadinya, maklum aja ya kalau ada cerita gue yang bikin lo berkomentar ‘ih… ini apaan sih?’ karena emang waktunya cuma 30 meit, hehehe.

Hebatnya, gue nggak absen seharipun. Yeaiiii…

Kayaknya gue emang butuh deh yang kayak-kayak gini biar blognya nggak mandeg disana-sana aja. *jadi inget bulan Desember aktif ngeblog juga gara-gara ikut proyek isengnya Fhia, ;p*.

Selain nantang diri sendiri, ini proyek juga bikin nambah temen, dan tentunya bikin page view blog meningkat drastis, hahaha. Juga, saling berkomentar atau cuma sekedar ninggalin pesan ‘unyukkk’ di blog masing-masing. Jadi, kalau sekarang tiba-tiba suntuk nggak tau mau ngapain blogwalking ke blog-blog ini aja, hehehe.

So, in this moment, I wanna say thank you for @WangiMS and @momo_DM. Ditunggu proyek-proyek selanjutnya. Dan untuk kalian yang saling kenal berkat proyek ini, jangan putus sampai disini aja ya hubungan kita, hehehe.

Keep writing and blogging and go fishing *yang terakhir nggak nyambung emang, hehehe*


SHARE:
1 Comments

FF15: Menikahlah Denganku

Leave a Comment
Menikahlah Denganku
Oleh: Ifnur Hikmah

“Anytime, dear. Lo tahu kan gue akan ngelakuin apapun asalkan lo bahagia?”

Tidak terhitung sudah berapa kali kalimat itu meluncur dari bibirku semenjak kita berkenalan sepuluh tahun lalu. Semenjak kita memutuskan untuk bersahabat di hari pertama kuliah, aku sudah bertekad untuk melakukan apapun asalkan kamu bahagia.

Apapun. Karena aku rela melakukan apapun demi perempuan yang aku cintai.

Termasuk pura-pura menjadi kekasihmu hanya karena kamu ingin terlihat baik-baik saja di mata mantan kekasihmu. Aku rela menjalankan peran ini meskipun hingga sekarang aku masih berharap benar-benar menjadi kekasihmu.

Sayangnya, kata sahabat memaksaku untuk membungkam pernyataan cinta. Terlebih, kamu sudah lebih dulu jatuh ke pelukannya.

“Lo nggak apa-apa, Cha?”

Aku bukannya khawatir karena sepatu hak tinggimu itu bisa membuat langkahmu limbung. Aku juga tidak khawatir gaun tanpa tali yang kamu kenakan itu melorot di tengah-tengah pesta. Aku juga tidak khawatir kamu akan pingsan karena gaun ketatmu itu tidak memungkinkanmu melahap kambing guling kesukaanmu. Yang aku khawatirkan adalah kamu masih belum bisa menerima kenyataan mantan kekasihmu menikahi perempuan lain dan membuatmu kembali menarik diri ke lubang patah hatimu.

“Gue nggak apa-apa.”

Aku tahu kamu bohong. Matamu menyiratkan kebohongan itu. Bagaimana mungkin kamu baik-baik saja padahal sudah satu jam lebih kita berdiri di sini dan kamu masih saja dihinggapi keraguan untuk bersalaman dengan pengantin?

“Kita maju yuk, biar bisa pulang cepat.”

Kamu menggeleng. “Gue masih lapar. Nyari makanan lagi aja ya.”

Kamu mengajakku ke stand Japanese food. Seperti biasa, aku hanya bisa mengekor. Aku tahu nasib sushi yang sedang kamu ambil itu akan berakhir sama seperti makanan-makanan lainnya, berakhir di perutku karena kamu tidak sanggup makan sedikitpun.

Segitu besarkah kesedihanmu itu, Cha?

Tell me how to stop your tears. Tell me how to stop your sadness? Aku tidak tahu harus melakukan apa lagi. Pundakku telah basah akibat air matamu. Pelukanku selalu ada setiap kali kamu membutuhkanku. Mulutku sudah berbusa-busa dengan berbagai nasihat yang bisa membangkitkanmu. Tapi kamu masih menangis. Masih bersedih. Masih terluka karena perbuatan Dimas.

“Stella cantik ya, Ka.”

Ucapanmu itu menyentakku. Kupandangi kamu yang malah memandangi sepasang pengantin itu.

“Dia terlihat bahagia. Apa gue bisa sebahagia itu juga saat menikah?”

“Tentu saja.”

“Gue rasa nggak. Gue nggak akan sebahagia itu karena Dimas sudah menjadi milik Stella.”

“Masih ada pria lain kok, Cha.”

“Lo tahu kan, Ka, kalau gue cinta banget sama Dimas.”

But he doesn’t. Lo liat saja dia bahagia banget di pelaminan sana.”

Ucapan ku kembali memantik kesedihan Echa. Bisa kulihat butiran bening bermain di mata bulat yang selalu memikatku itu.

“Sorry, Cha. Gue nggak bermaksud…”

“Nggak apa-apa, Ka. Lo benar.”

Kurangkulkan lenganku ke pundak yang terkulai lemah itu. “Lo tahu kan, Cha, kalau gue rela ngelakuin apapun asalkan lo bahagia?”

Echa mengangguk.

“Sekarang bilang apa yang bisa gue lakuin agar lo bahagia.”

“Gue ingin bisa sebahagia Stella, Ka.”

Kualihkan tatapanku ke arah Stella yang sibuk menyalami tamu. Senyum tidak pernah lepas dari wajah cantik itu. Ah, dimana-mana perempuan memang terlihat paling bahagia di balik balutan gaun pengantin.

“Lo bisa kok sebahagia Stella asalkan lo mau membuka hati dan lupain Dimas.”

“Gue nggak yakin, Ka.”

“Lo harus yakin.”

“Dimas dan gue itu pacaran lima tahun lebih. Lima tahun bukan waktu yang singkat untuk sebuah hubungan. Kenangan diantara kita itu udah banyak banget.”

“Tapi kenangan ya selamanya akan jadi kenangan. Dimas sudah menatap masa depannya bersama Stella. Lo juga harus menatap masa depan lo.”

“Bersama siapa?” Telingaku bisa menangkap keputusasaan di balik suara lirih itu.

“Bersama gue.”

Baik aku maupun Echa, kami sama-sama menegang akibat kalimat singkat yang refleks meluncur keluar dari bibirku.

“Maksud lo?”

Aku gelagapan. Terlanjur basah, Oka.

“Lo bisa menatap masa depan lo bersama gue. Mungkin gue nggak setampan atau semapan Dimas, but I love you more than him. I love you for ten years.”

Mungkin bukan saat yang tepat menyatakan cinta di pernikahan orang lain, terlebih di pernikahan mantan kekasih perempuan yang kucintai dan masih dicintai perempuan itu. Namun kurasa sepuluh tahun menunggu sudah cukup.

I am alone now, and so does she. And she needs someone to rely on.

“Gue bia janjiin kebahagiaan buat lo meski gue bukan seorang pria romantis. Lo tahu kan gue akan ngelakuin apa aja asalkan lo bahagia? So, menikahlah denganku.”

Piring berisi sushi di tangan Echa terjatuh ke lantai. Aku tidak tahu apakah itu berarti iya atau tidak. Namun yang pasti, aku sudah mengeluarkan apa yang terpendam selama sepuluh tahun ini.

I wanna marry this women. So much.


#15HariNgeblogFF Day 15 "Menikahlah Denganku." Kelanjutan dari "SAH" *Hari ini dua FF, hihihi*
SHARE:
0 Comments
Next PostNewer Posts Previous PostOlder Posts Home
BLOG TEMPLATE CREATED BY pipdig