Teruntuk Luca

1 comment

Dari sudut kecil di dekat tangga, aku mematung. Badanku disini, namun pikiranku disana. Mengelana jauh menembus batasan fana demi mencumbumu. Dalam khayal, tentu saja. Karena nyata tak pernah berpihak pada kita.

Dari sudut kecil di dekat tangga, aku menulis. Menceracau liar dalam tiap baris kata yang terlontar dari benakku. Kamu, kamu, dan kamu. Otakku menggemakan kamu. Mengalirkannya ke setiap sistem sarafku hingga akupun menuliskan namamu.

Di selembar kertas kosong.

Kamu, yang tak pernah megerti apa yang kurasa karena semesta tak pernah mempertemukan kita dalam naungan sayapnya. Selalu aku yang bernegosiasi dengan waktu dan semesta agar dia memberikan sebaris rasa kasihan untukku. Agar ia mempertemukanku denganmu.

Namun, aku tak pernah bisa mempecundangi waktu.

Segala tipu daya yang coba kulontarkan tak lagi berpihak padaku. Segala ingin yang kutuang dalam angan tak lagi mampu menghantarkanku ke hadapanmu.

Sia-sia. Itu semua.

Dari sudut kecil di dekat tanga ini, aku menangis.

Selembar kertas putih tergeletak di atas meja Luca. Kertas itu tidak terlalu besar dan dilipat di tengah-tengah. Ketika lipatannya dibuka, terlihatlah beberapa kalimat yang ditulis dengan tinta hitam.

Luca meringis. Ini kertas ketujuh yang diterimanya semenjak menginjakkan kaki di lantai ini enam bulan lalu. Meski surat itu tidak mengganggunya, namun otaknya tidak bisa mengenyahkan baris demi baris kalimat di kertas itu.

Kalimat yang mengungkapkan isi hati terdalam seseorang.

Seseorang yang tdak dikenalnya.

Surat pertama datang seminggu setelah dia resmi bekerja di majalah ini. Isinya singkat saja “May I know you, my beautiful lady?” Awalnya Luca tidak menghiraukan isi kertas itu. Terlebih, tidak ada tindakan atau surat-surat lain yang mengganggunya setelah itu.

Lepas satu bulan, Luca kembali menemukan selembar kertas di atas mejanya. Isinya masih singkat, namun tajam. “Kamulah perempuan tercantik yang pernah kutemui. Namun sayang, kelas kita berbeda. Aku hanya bisa menatapmu dari sudut kecil di dekat tangga ini. Menikmati senyum manismu. Namun aku berusaha berdamai dengan waktu agar dia mau melemparkanku ke hadapanmu.” Kertas-kertas selanjutnya datang begitu saja, tanpa aba-aba apapun sebelumnya. Kebanyakan berisi tentang keseharian Luca di kantor.

“He must be here,” gumam Luca pelan. “Tidak mungkin dia tahu keseharianku kalau dia bukan penghuni gedung ini.”

Namun, mencari seseorang diantara ratusan karyawan tanpa petunjuk yang jelas bukanlah perkara mudah. Luca pernah memeprlihatkan kertas itu kepada Nadya yang duduk di sebelahnya, alih-alih mendapatkan jawaban, dia malah menjadi bahan tertawaan.

Chicken banget sih itu cowok? Masih zaman ya nulis surat? Jangan-jangan itu si Husein, OB kantor.” Nadya mengakhiri kalimatnya dengan tawa melengking.

Semenjak saat itu, Luca memilih untuk menyimpan rapat-rapat rahasianya.

Selamat ulang tahun, Luca. Semoga kedewasaan kian menambah pesonamu. Pesona yang menyihirku. Pesona yang membuatku tergolek lemah tak berdaya dalam pengharapan.

Bukannya aku menyalahkanmu. Hanya saja, aku tak kuasa menahan gejolak yang ada di diri ini setiap kali kita berpapasan. Ah Luca. Malu hati ini mengakui semua tindak pengecutku. Kita sering berpapasan, tapi itu karena aku mencoba meminta belas kasihan pada semesta dengan membuat fake-cosmic-coincidance ini. Lalu, apa yang terjadi saat kamu dihadapanku? Aku tergugu tanpa kata. Lidahku kelu. Bahkan saat kamu melemparkan senyum manismu itu, aku hanya menatapmu dengan pandangan kososng. Memalukan bukan?

Dan sepanjang sisa hari, kembali aku bertingkah layaknya pecundang sejati dengan mengamati segala tingkahmu dari sudut kecil di dekat tangga ini. Ingin rasanya aku menjadi Nadya, tempatmu berbagi tawa. Atau menjadi Maesa, tempatmu menumpahkan keluh kesah dan bermanja-manja. Atau menjadi Ein, temanmu berdiskusi. Atau mungkin menjadi Husein yang sering bolak balik ke mejamu mengantarkan secangkir kopi dan menerima senyuman manismu sebagai ucapan terima kasih. Namun aku tetaplah aku, tidak pernah bisa menjadi siapapun yang terikat denganmu.

Aku tetaplah aku, si pecundang.

“Kamu kenapa?”

Luca menggeleng.

“Pasti ada apa-apa deh, Ca. Soalnya tampang kamu suntuk banget.”

Lagi-lagi Luca menggeleng.

Maesa hanya bisa menarik nafas panjang melihat kekeraskepalaan Luca. “Pekerjaanmu baik-baik saja?”

Luca mengangguk tanpa suara.

“Nggak ada masalah sama Bu Presty?”

“Ya kamu tahu dialah Sa. Pasti ada aja masalah kalau menyangkut dia.”

“Maafin aku ya Ca.”

“Kenapa kamu minta maaf?”

“Aku tahu kamu enjoy di Rush, dan aku sebenarnya juga berat buat melepas kamu. Kamu orang terbaik di tim Rush, tapi Bu Presty meminta rekomendasiku untuk August. Hanya kamu yang ada di pikiranku. Lagipula, aku pikir ini bagus untukmu. Sudah saatnya kamu memimpin sal;ah satu majalah di grup ini. Namun, aku tidak menyangka kalau Bu Presty memasukkan Nadya ke timmu. Semua orang juga tahu kalau Nadya tidak pernah menyukaimu.”

“Kamu ada-ada aja deh, Sa.” Luca tertawa. “Aku sama sekali nggak memikirkan pekerjaan kok. Aku enjoy di August meski yaaa ada Nadya.”

“Trus kenapa tampang kamu butek gitu?”

“Ada masalah sedikit, tapi ini nggak ada hubungannya dengan kamu kok, Sa.” Luca buru-buru menambahkan ketika melihat raut wajah Maesa yang kian khawatir.

“Okelah kalau kamu nggak mau cerita. Tapi kamu ingat ya, kalau ada apa-apa, kamu tinggal bbm atau telepon aku. Aku pasti ada untuk kamu.”

Sebaris senyum tipis menghiasi wajah Luca. Meski Maesa selalu bersikap baik kepadanya, dia tidak ingin berbagi rahasia itu dengan Maesa. Bukan karena dia tidak percaya. Hanya saja, keyakinan bahwa si pengirim surat adalah rekan sekantornya membuat Luca menutup raapt-rapat mulutnya agar tidak menimbulkan kegemparan di kantor. Dia hanya ingin membuat si pengirim surat merasa aman dalam dunianya sendiri tanpa gangguan orang lain.

Aku pergi, Ca. terima kasih telah menghuni hatiku selama beberapa bulan ini. Semoga di lain waktu semesta berbaik hati padaku dengan mempertemukan kita dalam keadaan diriku yang lebih berani. Setidaknya, aku berani menyapamu.

Selamat tinggal, Luca.

What, Januar resign?”

Teriakan Bu Presty memecah keheningan di siang hari yang tenang ini. Meski dia berteriak di dalam ruangannya, teriakan itu merembes keluar ruangannya dan menyentak semua karyawan yang menghuni lantai tiga.

“Kenapa saya tidak tahu?”

“Ibu sedang di Prancis waktu dia mengundurkan diri, dan Pak Pierre telah menyetujui surat pengunduran dirinya,” jawab Yulia.

Luca menulikan telinganya dari repetan Bu Presty. Dia tidak memiliki kepentingan apa-apa dengan berita yang mampu menggoncang jantung si bos besar itu. Toh siapa Januar dia juga tidak tahu.

“Si Presty bisa gila kalau Januar nggak ada,” celetuk Nadya.

“Eh?”

“Januar kan orang kepercayaan Presty.”

Luca menghentikan aktivitasnya memandangi layar komputer setelah tersadar bahwa Nadya berbicara kepadanya.

“Januar yang mana sih?”

Mata Nadya membola. “Lo nggak tahu Januar?”

Luca menggeleng.

“Dia satu-satunya teknisi yang dimiliki kantor ini, yang selalu dipanggil-panggil kalau ada apa-apa sama komputer atau internet.”

Sekelebat bayangan sesosok cowok tinggi, kurus, dengan rambut panjang sebahu yang selalu dikuncir melintasi ingatannya. Dia sering melihat pria itu lalu lalang di kantor ini tetapi tidak pernah berinteraksi langsung dengannya.

“Itu loh, yang ruangannya di sudut belakang dekat tangga,” celetuk Nadia lagi.

Luca mengangguk, namun sebersit kesadaran melintas di benaknya.

Yang ruangannya di sudut belakang dekat tangga…

Dia merasa familiar dengan frasa itu. Dia telah berkali-kali mendengar atau membaca frasa itu di selembar kertas yang selalu diletakkan di atas mejanya.

Degg, jangan-jangan…

Luca membuka lacinya dan mengambil kertas-kertas putih dari dalam sana. Terlihat jelas tulisan dari sudut kecil di dekat tangga tercetak secara gamblang di sana. Luca tersentak akan fakta yang ditemuinya. Sekarang semuanya jelas mengapa si penulis surat bisa tahu semua gerak geriknya karena selama ini dia berada tepat di belakang Luca.

Dan Luca tak pernah menyadarinya. Dia bahkan tidak pernah mendengar nama itu sebelumnya.

Luca berbalik dna mendapati ruang kosong di sudut belakang di dekat tangga.


P.S: Lagi suntuk di kantor karena weekend, iseng nulis tulisan ini. Kebeneran lagi ngomong-ngomong ama Maesa dan papasan sama Luca di tangga, jadi terciptalah tulisan yang ala kadarnya ini. Fresh from the oven!

Salam, iif

SHARE:
Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

1 comment

BLOG TEMPLATE CREATED BY pipdig