Madison

Leave a Comment
Jika menunggumu membuatku harus mengibarkan bendera putih, aku tak tahu kapan waktu kan menunjukkan akhirnya.

Victoria Resto, 11 November 2011
Angin malam bertiup lembut, memainkan helai-helai rambut yang tergerai di punggung Erika. Erika merapatkan cardigannya, sekedar untuk menghalau sepi dan kantuk yang mulai merambatinya.
Sudah lebih satu jam dia duduk di sini, bertemankan segelas sparkling water yang tak habis ditenggaknya. Sengaja dia berlama-lama mempermainkan minuman itu sementara pikirannya mengelana jauh melintasi angannya sendiri. Pemandangan dari kaca jendela yang sedari tadi dinikmatinya masih mempertontonkan hal yang sama, puluhan mobil yang saling mendahului, sambil sebersit harap hinggap di hatinya. Semoga, diantara mobil-mobil itu, ada satu mobil yang berkelok masuk ke halaman parkir resto ini.
Sebuah Mini Cooper putih dengan nomor polisi yang telah dihafalnya luar kepala.

Global Building 20th floor, 01 November 2005

“Erika Damayanti.”

Lega menjalari hati Erika saat dia berhasil menyebutkan namanya dengan lancar tanpa sedikitpun kegugupan terselip didalamnya. Susah payah Erika menata hatinya agar tidak berdentam terlalu keras semenjak melangkahkan kaki di lobi gedung perkantoran ini. Namun, saat tubuhnya berdiri di hadapan pintu kaca besar bertuliskan Madison Indonesia, dentam itu kian menjadi-jadi. Terlebih setelah lima menit kemudian, saat dia bertatap muka dengan pria itu.

Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, dia merasa seperti orang linglung.

Kegugupan yang awalnya disebabkan oleh kepanikan karena ini hari pertamanya bekerja di majalah idamannya, kini bertambah saat menyadari siapa sosok yang akan ditemuinya.

Francine Nicholas.

Angan Erika seolah dilempar kembali ke masa sepuluh tahun lalu, saat dia masih berupa remaja ingusan di balik seragam putih abu-abu. Masa ketika dia mulai mengenal cinta monyet dan ikut-ikutan teman-temannya mengagumi sosok cowok idola di sekolah.

Dan Erika tidak pernah menyangka akan bertemu sosok itu lagi. Sekarang. Di usia dewasanya.

Namun, pria itu tidak mengenalnya. Erika menyadarinya karena dirinya semasa SMA hanyalah seorang gadis pemalu yang selalu berusaha agar tidak menonjol.

“Saya Francine Nicholas. Tapi kamu bisa panggil saya Nino. Saya publisher di Tirtajaya Grup, dan salah satu majalah yang saya bawahi adalah Madison Indonesia.”

Erika mengangguk. Empat tahun meninggalkan Indonesia demi melanjutkan pendidikan dan mengecap rasanya bekerja di negara asing membuatnya ketinggalan banyak hal, termasuk dengan menganggap bahwa Catherina Dewi masih menjadi publisher di grup ini.

“Ada yang ingin kamu tanyakan?”

“Ya.” Erika mengangguk. “Dimana Cathy?”

Nino tertawa pelan. “Cathy sudah keluar tahun lalu. Dia mendirikan majalah online sendiri.”

Erika mengangguk. Namun sebersit rasa yang dulu dikenalnya sebagai cinta monyet kembali menelusup masuk ke relung hatinya. Lama dia menatap wajah dihadapannya dan menggali kembali kenangan lamanya, saat dia dan teman-temannya mengintip Nino dari jendela kelas atau berlama-lama di sekolah hanya untuk melihat sosok pujaan itu bermain basket.

Semburat merah merambati pipi Erika.

“Kamu kenapa?”

Buru-buru Erika membuang muka sebelum Nino menyadari perubahan di wajahnya. “Tidak ada apa-apa. Saya bisa bekerja sekarang?”

Nino tergelak. “Tentu. Saya sudah mempelajari sepak terjang kamu selama ini, dan saya yakin kamulah orang paling tepat untuk Madison saat ini.”

Mau tidak mau Erika tersenyum mendengar pujian itu. Tidak pernah terlintas di dugaannya bahwa pria yang menghiasi fantasi masa remajanya akan memujinya sedemikian rupa hari ini.


Morning Dew, 12 Maret 2007

Lonceng yang dipasang di pintu masuk berdentang saat pintu itu terbuka. Sesosok tubuh masuk dengan terburu-buru sembari mengibaskan rambutnya yang basah akibat tetesan hujan.

Erika tersenyum di tempatnya, sebuah sofa berwarna merah maroon di bagian belakang coffee shop ini. “Nino,” panggilnya.

Nino menghampiri Erika setelah sebelumnya memesan segelas hot espresso ke barista.

“Kamu kehujanan?”

“Sedikit,” jawab Nino, “Ka, kamu dulu di SMA Tanah Air 2 ya?”

Ucapan itu membuat Erika mengurungkan niat menyesap macchiato-nya. “Kamu tahu darimana?”

“Kemaren aku bertemu Rosana. Kamu ingat Rosana Amelia?”

Erika mengangguk. Rosana adalah teman sepermainannya waktu SMA dan menyatakan dirinya sebagai fans nomor satu Nino.

“Waktu SMA aku lumayan akrab dengan Rosana karena dia teman Maria, pacarku waktu itu. Kemaren nggak sengaja ketemu dan kita cerita-cerita.” Nino menghentikan ucapannya saat waitress datang membawakan pesanannya. “Waktu dia tahu aku bekerja dimana, dia langsung menyebutkan namamu. Aku kaget waktu tahu ternyata kita satu SMA.”

Ya jelaslah kamu kaget karena selama tiga tahun di SMA kita tidak pernah bertukar sapa sekalipun.

“Kita beda kelas, No.”

“Jadi kamu tahu kalau kita satu sekolah?”

Erika mengangguk.

“How come?”

“Kamu idola sekolahan waktu itu, jadi semua orang tahu tentang kamu.”

“Coba ya, Ka, kita udah kenal dari dulu, mungkin kita bisa akrab.”

Namun semua hanya pengandaian, No, karena kita tak kan pernah kembali ke masa itu. Mungkin jika dulu kita bisa akrab, akulah yang akan menjadi pacarmu, bukan Maria.


Madison Indonesia, 20 Agustus 2008

“Lembur, Ka.”

Erika tidak mengangkat wajahnya dari layar komputer meskipun dia tahu sosok tinggi tegap Nino tengah menanti jawabannya di ambang pintu. “Deadline.”

Nino melangkah masuk ke ruangan Erika. “Kamu sibuk banget ya?”

“Kenapa?”

“Aku butuh teman ngobrol, Ka.”

Jawaban Nino membuat Erika kehilangan konsentrasi. Diangkatnya wajahnya dari layar komputer dan memandang Nino. Detik itu juga dia melihat raut lelah di wajah yang biasanya selalu tersenyum itu.

“Tapi kamu kayaknya sibuk banget dan…"

“Kamu keberatan menunggu lima menit?”

Dan Erika tidak pernah menyesal telah meninggalkan pekerjaannya demi menemani Nino di Morning Dew. Berteman secangkir hot chocolate di hadapannya dan espresso dihadapan Nino, segala hal tentang Nino terpapar di hadapannya. Dan tak ayal Erika tersenyum saat Nino berkeluh kesah akan perangai pacarnya yang dari hari ke hari kian memberatkannya hingga akhirnya kata over meluncur dari bibirnya.

Dia sendiri sekarang, apa itu berarti impianku yang dulu ada bisa kutumbuhkan kembali? Bathin Erika.


Sudirman Park, 12 Desember 2009

“Kenapa sih kamu harus menyiksa dirimu kayak gini?”

Nino hanya mengerang di balik pusing yang melandanya. Bergelas-gelas Cognac yang mengaliri tubuhnya membuatnya kehilangan kesadaran. Meskipun seluruh isi perutnya telah berpindah ke wastafel, rasa pusing dan mual itu masih belum hilang dari tubuhnya.

Susah payah Erika membopong tubuh yang besarnya jauh melebihi dirinya itu ke dalam kamarnya. Keadaan Nino yang tidak bisa ditolerir lagi membuat Erika terpaksa menyeret pria itu dari dance floor ke apartemennya.

“Memangnya apa sih yang dimiliki perempuan itu sampai kamu jadi seperti ini? It’s been a year, No.” Erika masih melanjutkan celotehannya meskipun dia tahu Nino tidak akan mendengarkan ocehannya. Pria itu terlalu sibuk dengan hangover-nya.

Setahun telah berlalu semenjak Nino datang ke hadapannya dan mengatakan bahwa hubungannya dengan Risa telah selesai. Erika tidak tahu siapa itu Risa, selain fakta bahwa perempuan itu telah menempati hati Nino. Hingga sekarang, meskipun mereka tak lagi terikat hubungan apapun. Toh, seperti yang dikatakan Nino beberapa bulan lalu, perempuan itu telah terikat hubungan pertunangan dengan pria lain, tetapi mengapa Nino masih setia menyiksa dirinya?

Erika hanya geleng-geleng kepala melihat Nino meringkuk di sofa. Wajahnya memerah. Tangannya terkulai lemah. Perlahan Erika beringsut mendekat dan membantu Nino memperbaiki posisi tidurnya.

“Eh?” Erika tersentak saat merasakan seseorang mencengkeram pinggangnya. Tangan Nino.

Mata Nino memakunya. Mata itu menyala-nyala dengan gejolak berbagai perasaan campur aduk disana. Erika tersenyum dan perlahan melepaskan cengekraman Nino. Alih-alih melepaskan pegangannya, Nino malah menarik tubuh Erika hingga terjerembab tepat diatasnya dan menyerbu bibir Erika dengan bibirnya.

“Risa,” desah Nino.

Hati Erika langsung mengucurkan darah saat mendengar Nino mendesahkan nama perempuan lain disaat bibir mereka tengah berpagut erat.


Victoria Resto, 10 November 2010

“Selamat ulang tahun, Erika.”

Erika menyunggingkan sebaris senyum seraya mengambil gelas berisi red wine yang disodorkan Nino. “Thanks.”

“You’re the best, Erika. I’m glad to know you.”

“Thanks.” Erika mengutuk dirinya sendiri yang bertingkah seperti orang bodoh dengan menggumamkan kata yang sama dua kali berturut-turut. Namun, suasana resto yang remang-remang dan tatapan Nino yang selalu tertuju kepadanya membuatnya kehilangan kata-kata.

“You’re the greatest women I’ve ever known. Dalam segala hal. Kamu membawa Madison ke puncak kejayaan selama lima tahun keberadaanmu disana, dan kamu juga sahabat terbaikku yang membantuku merangkak keluar dari keterpurukan setelah berpisah dengan Risa.”

“Meskipun kamu menganggapku sebagai perempuan terbaik, itu tidak akan menyurutkan niatmu untuk pergi?”

Nino menggeleng. “Aku harus pergi, Ka.”

Erika menghela nafas berat. Berita kepergian Nino yang akan segera terjadi bukan hal baru bagi telinganya. Berbulan-bulan sudah dia mendengar kabar kalau Nino akan pergi ke Australia dan tinggal di sana untuk waktu yang tidak tahu sampai kapan. Madison Australia, majalah yang memiliki lisensi Madison Indonesia meminta Nino untuk menangani majalah mereka. Tentu saja, seorang workaholic sejati seperti Nino tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Tanpa berpikir dua kali, dia melepaskan semua hal yang telah dimilikinya di Jakarta dan bersiap menghadang hidup baru di Australia.

Termasuk, meninggalkan hubungan pertemanannya dengan Erika.

“Aku bangga sama kamu, No, meski untuk itu, aku harus kehilangan kamu.”

Wajah Nino tampak sendu. Digenggamnya kedua tangan Erika erat. Berat kembali menggayuti hatinya saat menyadari bahwa tak lama lagi, dia tak akan pernah melihat wajah perempuan dihadapannya ini, wajah yang selalu menemani hari-harinya selama lima tahun terakhir. Wajah yang sempat dilihatnya di usia remajanya namun kala itu dia masih terlalu pongah untuk melirik sosok yang selalu diam itu hingga akhirnya tangan nasib kembali mempertemukannya dengan wajah itu di gedung perkantoran ini. Namun sekarang, dia harus merelakan hatinya untuk kembali kehilangan perempuan itu.

“Aku akan pulang, Ka,” jika waktu masih mengizinkanku untuk kembali padamu, “aku akan terus mengingatmu, sebagai satu bagian yang berarti dalam hidupku.”

Erika memaksakan diri untuk tersenyum. “Aku akan menunggumu, No.”

Aku akan menunggumu karena sejak pertama kali aku berkenalan dengan cinta, hidupku sudah ditakdirkan untuk selalu berkutat dengan penantian. Dulu, aku menunggumu untuk sekedar menoleh dan menyadari kehadiranku, tapi keinginanku tidak pernah terwujud. Bertahun berlalu hingga akhirnya kita kembali bertemu. Lagi, aku harus menunggumu karena kamu terlalu asyik dengan perempuan lain. Sekarang, disaat hatimu tidak dimiliki oleh siapapun, kembali aku harus menunggumu karena ragamu akan beranjak menjauhiku sementara hatimu masih belum bisa kugenggam seutuhnya,

Mata Erika menatap lurus ke wajah di hadapannya. Segenap memorinya bekerja keras merekam sosok tersebut dan menyimpannya ke dalam lipatan otaknya.

“Aku akan merindukanmu,” desahnya lirih.


Victoria Resto, 11 November 2011

Mini Cooper putih yang ditunggu-tunggunya tidak pernah datang meskipun jarum jam telah berdentang sebanyak dua belas kali dan tanggal telah berganti ke hari berikutnya. Erika masih terduduk ditempatnya, masih memainkan minumannya, masih berkutat dengan penantiannya.

Majalah Madison Indonesia tergeletak di hadapannya, tepat di halaman Editor’s Note. Erika tertegun menatap fotonya yang menampilkan senyum terpaksa disana. Bahkan hingga sekarang pun aku tidak bisa tersenyum seperti dulu lagi, bathinnya.

Matanya menyapu barisan kalimat demi kalimat yang ditulisnya untuk majalah itu.

Apa yang terlintas di benak Anda semua saat mendengar kata cinta? Menurut saya, cinta adalah menunggu.

Cinta pertama kali menyapa saya tiga belas tahun lalu, saat saya masih mengenakan seragam putih abu-abu. Kala itu, saya mengenalnya sebagai cinta monyet. Namun, si cinta monyet telah mengajarkan saya untuk menunggu, menunggu dia sekedar menolehkan wajah dan tersenyum untuk saya. Tidak hanya sampai disana. Perjalanan waktu kembali mempertemukan saya dengan cinta yang sama sepuluh tahun kemudian. Meski kami berbagi hari yang sama, berbagi oksigen di ruangan yang sama, tapi saya tetap harus menunggunya. Menunggunya untuk menutup hati dari perempuan lain dan membukanya untuk saya.

Lima tahun berlalu, saya tetap menunggu. Sampai tangan waktu melemparnya ke seberang lautan. Kembali saya harus menunggu. Menunggu kepulangannya. Alih-alih pulang, justru kabar kepergiannyalah yang mampir ke telinga saya. Penantian yang semula saya pikir akan segera berakhir ternyata malah membawa saya ke fase penantian berikutnya.

Raganya tak pernah datang. Kehadirannya digantikan oleh selembar surat.

Satu kalimatnya selalu memaku saya hingga hari ini.

Aku telah melihatmu semenjak kamu masih mengenakan rok abu-abu itu, tapi waktu itu aku masih terlalu pongah untuk sekedar menyapamu. Lalu kita bertemu lagi, dan aku masih sama bodohnya seperti dulu. Membiarkanmu melenggang disampingku sebagai teman. Sesuatu yang sangat kubenci sebenarnya, tapi aku hanyalah pecundang yang tidak berani mengetuk pintu hatimu. Namun, detik ini aku bersyukur terlahir sebagai seorang pengecut karena dengan begitu, aku bisa pergi meninggalkanmu dengan tenang. Aku bahagia karena kamu mengingatku sebagai sosok yang kuat, bukan sosok rapuh yang mengalah di meja operasi.

Kembali takdir memaksa saya untuk menunggunya, entah sampai kapan. Dia telah pergi karena gagal berkelahi melawan kanker yang menggerogoti otaknya. Dia telah pergi tanpa pamit.

Sekarang saya kembali masuk ke tahap penantian selanjutnya. Menunggu kedatangan cinta baru, atau menunggu saat saya bisa bertemu dia lagi, entahlah.

Untuk Francine Nicholas, selamat jalan. Aku mencintaimu, dulu, sekarang, dan entah sampai kapan.

Erika Damayanti

Editor In Chief

Tanpa bisa dicegah air mata mengaliri pipinya. Erika sama sekali tidak bermaksud untuk menghapus air mata itu. Biarlah tetes demi tetes air mata menjadi saksi betapa seluruh hatinya tak lagi berdenyut. Hatinya telah hancur saat sebaris kabar singgah ke pendengarannya beberapa bulan silam.


Global Building, 20th floor, 18 Juli 2011

Edward Hutapea berdehem seraya membenarkan letak dasinya. Dihadapannya, seluruh karyawan Tirtajaya Group berkumpul dengan tanda tanya besar tertera di wajah mereka. Di saat mereka seharusnya sedang berkutat dengan pekerjaan, si bos besar malah mengumpulkan mereka di aula utama.

“Kita mengalami kehilangan besar.” Edward membuka mulut. Suaranya terdengar parau. Jelas terlihat kedukaan dibalik matanya yang sayu. “Salah seorang rekan kita baru saja meninggalkan kita untuk selama-lamanya. Francine Nicholas.”

Erika tersentak. “Nino?”

Semua mata memandang kearahnya, termasuk mata Edward.

“Nino meninggal karena kanker otak.”

Dunia Erika berputar. Dia tidak tahu apa yang terjadi setelahnya karena mendadak dia terjebak dalam kegelapan.


Victoria Resto, 12 November 2011

Jika menunggumu membuatku harus mengibarkan bendera putih, aku tak tahu kapan waktu kan menunjukkan akhirnya.

Erika melipat kembali secarik kertas yang dititipkan Nino kepada saudaranya berbulan-bulan lalu. Kertas yang telah menemaninya selama berbulan-bulan ini dan membuatnya kembali mengucurkan air mata saat teringat Nino. Tanpa diperintah, ingatannya kembali memainkan semua kenangan yang pernah diukirnya bersama Nino. Bahkan, surat terakhir Nino telah menjadi candunya. Selalu dibacanya setiap kali dia merasa limbung.

Maaf Erika, aku terpaksa berbohong padamu. Penyakit ini telah lama hinggap di tubuhku, hanya saja aku terlalu sombong untuk mau mengakuinya. Aku berkutat melawannya dengan satu keyakinan bahwa aku bisa mengalahkannya. Namun, aku salah. Salah besar.

Kepergianku ke Australia bukan untuk bekerja, melainkan untuk mengenyahkan penyakit itu. Aku terpaksa menciptakan kebohongan ini agar tak ada yang mengasihaniku. Aku ingin dikenal sebagai Nino yang seperti ini jika suatu hari nanti aku harus mengalah di tangan penyakit ini.

Erika, aku merasa waktuku kian dekat. Namun, ada satu hal yang harus kusampaikan padamu.

Aku telah melihatmu semenjak kamu masih mengenakan rok abu-abu itu, tapi waktu itu aku masih terlalu pongah untuk sekedar menyapamu. Lalu kita bertemu lagi, dan aku masih sama bodohnya seperti dulu. Membiarkanmu melenggang disampingku sebagai teman. Sesuatu yang sangat kubenci sebenarnya, tapi aku hanyalah pecundang yang tidak berani mengetuk pintu hatimu. Namun, detik ini aku bersyukur terlahir sebagai seorang pengecut karena dengan begitu, aku bisa pergi meninggalkanmu dengan tenang. Aku bahagia karena kamu mengingatku sebagai sosok yang kuat, bukan sosok rapuh yang mengalah di meja operasi.

Sekarang, jika saatku telah tiba, aku ikhlas karena memang beginilah jalanku. Aku mencintaimu Erika, dulu, sekarang, dan entah sampai kapan. Semoga kita bisa bertemu lagi. Dan hingga saat itu tiba, berbahagialah Erika. Aku akan menunggumu di surga sepiku, menunggu kedatanganmu beserta rentetan cerita yang keluar dari bibirmu.

Aku menunggumu karena aku mencintaimu.

Francine Nicholas.

Sekali lagi Erika mengusap air matanya. Apakah aku harus kembali menunggu?


P.S: Terinspirasi saat sedang break ngopi sore di kantor dan menemukan majalah Madison Australia. Saya sudah lama menyukai majalah ini. Lalu, tiba-tiba terlintas ide tentang cerita ini. Sempat di-pending karena sudah jam pulang kantor, akhirnya diselesaikan juga hari ini. Memang tak ada hubungan antara cerita dengan isi majalah, tapi nama majalah ini saya abadikan sebagai benang merah cerita *sekaligus berharap semoga ada publisher yang mau mendatangkan majalah ini ke Indonesia*. Sempat mengalami beberapa kali pergantian ending hingga inilah ending yang paling sreg di hati.

Selamat menikmati.

Love, iif

SHARE:
Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

0 Comments:

Post a Comment

BLOG TEMPLATE CREATED BY pipdig