Semua Hanya Ada Dalam Kartu

3 comments

Pria itu tersenyum tipis. Menggodaku -mungkin.

Ku tarik nafas dalam-dalam. Keringat dingin mengaliri punggungku, membuat gaun berbahan spandeks itu melekat erat di tubuhku. Rasanya sungguh tidak nyaman. Namun, berada di ruangan ini jauh lebih tidak nyaman lagi.

Well, mungkin sumber ketidaknyamanan itu adalah debaran jantungku.

Kembali aku menghela nafas. Pria itu masih melirikku dengan mata kucingnya –sungguh, di ruang temaram ini matanya tampak lebih menyala. Persis seperti mata kucing. Hanya saja ada kantuk membayang di sana sehingga matanya terihat lebih sayu. Dan lagi, dia tersenyum.

“Kamu takut?” tanyanya, “atau ragu?’

Takut atau ragu? Entahlah. Mungkin saja aku ragu karena selama ini, perjudian dengan masa depan yang ku lakukan hanya sebatas membaca ramalan bintang di majalah. Lebih dari itu? Nothing. Atau bisa saja aku takut. Takut menghadapi setiap kalimat yang meluncur dari bibirnya. Takut akan paparan masa depanku sendiri. Dan bisa juga aku takut…

Sial, aku mengutuk dalam hati. Ini semua gara-gara Lana. Kalau saja temanku itu tidak dirasuki ide kreatif berlebihan, pasti sekarang aku sedang mendekam di kamar kos. Tenggelam dalam lantunan lagu-lagu NKOTB dan novel romance kesukaanku.

“Pokoknya kamu harus ikut aku keluar malam ini. Jangan berlagak seperti perawan tua kesepian.”

Lana tidak pernah bisa ditolak. Itulah mengapa sekarang aku terjebak di sini, di depan pria ini.

“Aku tidak bisa mulai jika kamu belum siap.”

Aku terpaku. Ku putar kepala dan melihat Lana tengah asyik mengobrol dengan pria entah siapa di meja kami. Dia sama sekali tidak membantu. Setelah menyeretku ke sini, dia lalu meninggalkanku begitu saja. Benar-benar sahabat yang baik.

“Lana bilang kamu selalu penasaran ingin di baca? Lalu kenapa sekarang jadi ragu?”

Aku memang penasaran ingin di baca tapi tidak olehmu, jawabku dalam hati. Bagaimana mungkin aku bisa tenang ketika seseorang menelanjangi masa depanku sementara orang itu membuat jantungku berlompatan tidak karuan? Tidak diragukan lagi, dia pasti sudah menangkap aura cinta menyelimuti tubuhku saat ini.

Juga saat-saat sebelumnya.

Kembali aku menghela nafas. “Go on,” ujarku.

Dia kembali tersenyum.

“Lakukan, Aryo.”

Aryo membuka kartu pertama. The Tower.

“Pergolakan dalam hidup.” Aryo menaikkan sebelah alisnya. “Pelajari lagi semua rencana yang sudah kamu susun. Kamu perlu menata ulang semuanya.”

Aku mendesah. Penuturannya jelas bukan merupakan awal yang baik.

Aryo membuka kartu kedua. The Fool. Kembali aku melengos.

“Kamu perlu melakukan sebuah lompatan yang cukup berani.”

Mudah baginya berkata seperti itu, tapi sulit untuk ku realisasikan, mengingat kelemahanku yang suka mengkhawatirkan hal yang seharusnya tidak perlu dipikirkan.

“Hei, jangan terlalu larut dalam kekhawatiranmu. Kamu harus lebih memperkuat keyakinanmu.”

“Semoga saja.”

Kembali Aryo membuka kartu di tangannya. The Hermit.

“Kamu betah dengan kesendirianmu?”

Aku tidak menjawab.

“Kamu menikmatinya, bisa ku lihat itu.”

Aku terbelalak. “Kamu tahu? Maksudku, aku tidak… ya.. tidak ada yang menyadarinya. Aku selalu berusaha mencari pendamping.”

Aryo tergelak. “Itu yang kamu perlihatkan di luar, tapi di dalam?” Dia menggeleng. “Kesabaranmu membuatmu betah berlama-lama dalam kesendirian itu.”

Aryo kembali fokus pada kartu-kartunya. Kartu ke empat, The Lover.

Senyum mengembang di wajah Aryo. Begitu pula di wajahku.

“Cinta,” gumamnya pelan. Ditatapnya aku lekat-lekat. Mata kucingnya itu menyala kian terang di bawah temaram lampu. Jantungku semakin tidak karuan. Keringat dingin kian membanjiri punggungku. Bisakah Aryo melihat –atau merasakan- debaran itu? Sesuatu yang sepertinya tidak mustahil untuknya.

“Kamu sepertinya begitu yakin dengan cinta yang kamu rasakan sekarang. Hanya saja…”

Aryo membuka kartu selanjutnya. The Sun.

“Kamu harus memberitahunya,” sambung Aryo.

“Haruskah?”
“Selama ini dia hanya menebak-nebak. Kamu butuh untuk meyakinkannya.”

“Entahlah,” sahutku.

“Aria, dia hanya butuh diyakinkan. Bilang bahwa kamu mencintainya, hanya itu.”

“Hanya itu? Aku perempuan timur yang masih menganggap tabu perempuan menyatakan cinta,” tukasku cepat. Sedetik kemudian aku menyesali ucapanku. Untuk apa aku curhat segala?

Namun, Aryo hanya tertawa. “Kamu lucu Aria,” komentarnya.

Aku terdiam saja.

“Kamu tidak perlu takut mengutarakannya.” Aryo kembali serius. “Dia hanya ingin mendengar kalimat itu meluncur dari bibirmu.”

“Mengapa tidak dia saja yang mengutarakannya duluan?” Oke, sekarang Aryo bukan lagi seorang Tarot Reader, tapi sudah beralih menjadi Konsultan Pernyataan Cinta.

“Dalam hatinya, dia tahu perasaanmu, tapi dia menunggu.” Aryo menatapku tajam. “Aku menunggu.”

Petir menghantam gendang telingaku. “Apa maksudmu?”

“Aku menunggu kamu mengatakan isi hatimu.”

Dahiku berkerut. Sepertinya ini bukan lagi sesi pembacaan tarot, tapi… “Aku tidak mengerti.”

“Kamu tahu aku bisa ‘membacamu’, dan auramu itu.” Aryo menggeleng. “Auramu benar-benar meneriakkan isi hatimu, dan ada namaku di sana.”

Aku terkesiap. Seharusnya aku lebih berhati-hati saat jatuh cinta kepada seseorang yang memiliki kelebihan seperti Aryo. Tapi, nasi sudah menjadi bubur.

“Tebakanku benar kan, Aria?”

Aku tertunduk. “Kau membuatku malu.”

Aryo terkekeh. “Untuk apa malu? Ayo katakan kalimat itu, Aria.”

Aku terdiam. Bisu terhampar selama beberapa detik.

“Atau harus aku yang mengucapkannya dulu?”

“Apa?” Aku terkesiap.

“Aku mencintaimu, Aria.”

Benarkah? Benarkah itu? Ku tatap Aryo untuk melihat kesungguhannya. Dan, ya… ku lihat kesungguhan di balik wajah yang biasa bersinar jenaka itu. Tapi, bagaimana mungkin Aryo…

“Aria…”

Sebuah teriakan mengagetkanku. Ku buka mata dan sesaat kebingungan melandaku. Bukankah aku tadi sedang berada di Peninsula Resto dan sedang di baca oleh Aryo? Namun, mengapa aku sekarang berada di ruangan sempit yang sangat ku kenal? Poster besar NKOTB bersanding dengan Britney Spears memenuhi ruang pandangku. Aku mengangkat tubuh dan duduk. Sofa bermotif loreng yang ku tempati terasa begitu familiar, lalu kemana karpet merah tempat aku mendengar Aryo membacakan kartuku? Dan, yang paling penting, dimana Aryo?

Aku berbalik dan mendapati Lana sedang menatapku garang.

“Tebakanku benar. Kamu pasti bertingkah seperti perawan tua lagi malam ini,” cecar Lana.

Aku mendengus. “Usia kita sama. Jangan mengataiku perawan tua karena kamu sendiri belum menikah.”

Lana menarik tanganku hingga aku tersentak berdiri. Novel yang ada di pangkuanku meluncur turun. “Tapi setidaknya aku bersosialisasi keluar rumah, bukan mengurung diri seperti ini.”

Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Aku merasa de javu. Perasaanku, aku pernah mengalami situasi ini, tapi kapan?

“Sana ganti baju, dan ikut aku ke Peninsula resto.”

“Apa?” de javu yang ku rasakan kian kuat.

“Sekarang malam Minggu dan Aryo pasti sedang di Peninsula. Kamu harus membuat gebrakan baru kalau tidak ingin kisah percintaanmu berakhir mengenaskan,” cecar Lana. “Seperti yang sudah-sudah.”

Pola de javu itu semakin jelas. Dan, oh… aku tersadar. Ini bukan de javu, melainkan…

“Biarkan Aryo membacamu.” Lana melontarkan idenya.

Aku menganga. Mimpiku mengapa bisa mewujud nyata seperti ini? Apa ini pertanda? Dan, kalau ini pertanda, maka nanti…

Tanpa pikir panjang aku segera berlari ke kamar mandi setelah sebelumnya menyambar gaun hitam selutut dari dalam lemari.


NB: Cerita ini hanya fiktif belaka. Segala kesamaan nama, tokoh, tempat, dan profesi hanya akal-akalan penulis saja. Atau, pelampiasan kegalauan penulis, huahahhahahaha


SHARE:
Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

3 comments

  1. menarik, enak dibaca, sungguh sastra naturalis :)

    ReplyDelete
  2. ehm.. sounds familiar ya ceritanya..
    bisa di jelaskan siapa tokoh-tokohnya? haha

    ReplyDelete
  3. ah wawaw ah, masa nggak tahu sih? Masih kurang jelaskah itu penggambarannya? Ya well, matanya sih sebenernya nggak kayak mata kucing tapi dia terkait ama kucing kok kakak, mweheheheh

    ReplyDelete

BLOG TEMPLATE CREATED BY pipdig