Ruby's Wishes (Side Story): ADRIAN

Leave a Comment
Ruby's Wishes Side Story: ADRIAN


Tajamnya rumput yang menusuk punggung tidak ku hiraukan. Aku tetap bergeming dalam tidurku, sedikit mengistirahatkan kakiku. Angin sore yang bertiup lembut memanjakan mataku, memaksaku untuk berlabuh di rengkuhan mimpi meski hanya untuk beberapa menit saja. Nun di kejauhan, semburat oranye matahari sore perlahan mulai meninggalkan bumi.

Sebentar lagi malam turun, dan aku masih belum tahu akan tidur dimana malam ini. Mungkin hamparan tanah kosong ini bisa ku jadikan tempat bermalam.

Homeless, itulah aku sekarang, tepatnya semenjak aku memutuskan untuk angkat kaki dari kota kecil tempat tinggalku seminggu yang lalu. Aku tidak tahu hendak kemana. Ku ikuti saja apa kata angin. Bagiku, itu jauh lebih menyenangkan ketimbang berada di kota yang menuntut terlalu banyak dariku. Ku jalankan Harley melintas jalan-jalan panjang hingga akhirnya aku melewati perbatasan kota.

Meninggalkan kota kecil itu berarti meninggalkan kehidupanku yang dulu. Aku rasa itulah keputusan terbaik yang pernah ku buat. Mengapa aku baru berani mengambil langkah ini sekarang padahal sudah dua tahun lebih seluruh kota membenci dan memusuhiku. Mereka terang-terangan mengucilkanku dan menganggapku sebagai seorang pembunuh.

Ruby. Ya, perempuan itulah satu-satunya alasan mengapa aku bertahan di sana.

Kematian Safir meluluhlantakkan hidupku. Hatiku hancur dan perasaan bersalah menderaku. Mungkin aku sudah berniat menyusul Safir kalau saja Ruby tidak datang ke hadapanku dan membantuku berdiri. Sempat melintas sebuah harapan semoga Ruby adalah Safir, atau setidaknya, aku bisa menemukan sosok Safir di diri adik kembarnya itu. Tapi aku salah. Safir telah tiada, dan sampai kapanpun Ruby tidak akan pernah menjadi dia.

Kembali ku teringat permintaan terakhir Ruby. Entah bagaimana kabarnya sekarang. Di hari keberangkatanku, dia mengunjungi rumahku. Namun, aku hanya melihatnya dari balik jendela. Tidak ku indahkan gedoran pintu dan teriakan Ruby. Mungkin aku terdengar jahat, tapi aku tidak ingin bertemu Ruby. Aku tidak bisa menghabiskan waktu lagi dengannya. Semakin lama aku bersamanya, semakin aku menyakitinya. Dan perempuan itu telah terlalu banyak menanggung sakit di sepanjang eksistensinya di muka bumi. Aku tidak ingin menambahkan timbunan luka di hatinya.

Sepeninggal Ruby, aku segera mengambil motorku dan pergi. Melarikan diri.

Sekarang aku di sini. Sendirian di tempat antah berantah. Aku juga telah kehilangan orientasi waktu dan aku tidak peduli.

Aku bangkit duduk. Mataku silau akibat menatap matahari sore yang tersenyum cerah. Secerah senyuman Safir.

Safir. Dialah satu-satunya perempuan yang berhasil memasuki pintu hatiku. Semenjak perkenalan tidak sengaja di rumah sakit itu, hubungan kami berjalan lancar. Kota itu begitu kecil sehingga tidak sulit bagiku untuk mengetahui alamatnya. Masih jelas di ingatanku Safir yang tidak bisa menyembunyikan tawanya melihat kebingunganku di pintu rumahnya ketika aku mengunjunginya untuk pertama kalinya.

Safir jugalah perempuan pertama –dan satu-satunya- yang membuatku percaya bahwa cinta itu ada setelah berkali-kali aku melihat apa yang mereka sebut cinta sebagai perpanjangan tangan setan. Bagaimana tidak, atas nama cintalah ibuku yang naïf itu rela ditiduri kepala polisi di kota asalnya. Pria yang seharusnya menjadi pengayom masyaraat –dan sialnya harus menjadi ayahku- malah meninggalkan ibuku begitu saja. Berpaling muka melihatku yang sudah harus merasakan kerasnya jalanan di usiaku yang masih bau kencur. Sementara dia? Tersenyum pongah di atas singgasana kehormatannya. Dipuja semua orang. Bahkan dia menatapku jijik ketika putri manjanya –yang sialnya harus menjadi kakakku- menyeretku ke kantor kebanggaannya itu ketika tanpa sengaja aku menabrak mobil mewahnya dengan sepeda motor bututku. Ingin rasanya ku teriakkan di hadapan semua orang bahwa dia adalah ayahku, dan aku lahir karena perbuatan tidak bertanggung jawabnya kepada ibuku. Tapi ibu terlalu naïf untuk menyibak aib itu. Lebih sialnya lagi, dia malah menampung lelaki bodoh pengangguran di rumah bobrok kami. Katanya, dia mencintai pria itu. Persetan dengan cinta. Apa itu benar-benar cinta jika yang ku lihat hanya seonggok daging pemalas yang terus menerus meminta uang kepada ibuku, dan sebagai gantinya, dia menghadiahi ibuku dengan tamparan atau tendangan.

Itukah yang orang bilang cinta? Setidaknya, itulah yang diteriakkan perempuan-perempuan bodoh yang ku tiduri setiap malam setelah mereka terpikat senyumku. Namun bagiku itu hanyalah perpanjangan tangan setan di muka bumi ini.

Namun, Safir berhasil membuka mataku. Setidaknya, aku baru percaya bahwa yang aku rasakan adalah cinta ketika dia memelukku dan menyuarakan kekhawatirannya. Dia selalu datang ke tempat kerjaku, sekedar memastikan bahwa aku sudah makan siang. Dia mengajakku pergi setiap akhir pekan hanya agar aku bisa menghirup angin segar setelah Senin hingga Jumat indra penciumanku dipenuhi asap pabrik tempatku bekerja. Dia selalu ada untukku, menangis untukku ketika aku bercerita perihal masa laluku, dan tersenyum menyemangatiku setiap kali Rob –mandor pabrik- memarahiku. Karena Safir-lah aku berani mengimpikan hal lebih, seperti sebuah keluarga yang seharusnya.

Tetapi, cinta yang ku rasakan hanyalah cinta semu. Selama ini dia bersembunyi di balik topeng kebahagiaan karena sejatinya, dia tidaklah berubah. Tetap berwujud setan. Dialah yang membunuh Safir. Cintaku lah yang membunuh Safir. Akulah, si setan pembunuh.

Lalu sekarang setan itu kembali menampakkan taringnya. Perlahan-lahan dia menancapkan pengaruhnya dan melingkupi Ruby. Tapi lihat hasilnya. Ruby terluka. Akulah yang melukainya.

Atau, apakah aku sudah menjadi setan sejak dahulu? Aku menjalani masa kecil yang keras dan tidak diakui oleh ayahku sendiri karena aku adalah hasil kerja cinta, maka akulah setan itu. Lelaki pemalas itu memukuli ibu karena ibu mencintaiku dan melindungiku. Akulah setan yang membuat ibu terluka. Akulah setan yang dengan gampangnya merayu setiap perempuan yang ku temui dan menjadikan mereka sebagai penghangat tempat tidurku. Akulah setan itu, setan yang berkedok atas nama cinta.

Aku tertawa miris. Mungkin sudah saatnya aku mematikan rasa. Hidup sebagai sebongkah daging tak berperasaan, tentu akan membuat langkahku terasa ringan. Aku tidak perlu khawatir akan luka-luka baru yang bisa saja ku timbulkan.

Terasa getaran pelan di kantong celanaku. Ku keluarkan telepon genggam ketinggalan jaman itu dari dalam kantong jins lusuhku. Sebuah pesan baru tertera di sana.


Adrian, kamu dimana? Mengapa kamu pergi? Angkat teleponku, atau setidaknya balas pesanku. Biarkan aku tahu dimana keberadaanmu. Aku mengkhawatirkanmu. Maafkan aku telah menyusahkanmu. Kembalilah Adrian. Kembalilah. Ku mohon.

Pengirim: Ruby


Ku hela nafas berat. Ku palingkan pandangan ke jalanan lurus yang berada di belakangku. Pesan Ruby memanggil-manggilku untuk pulang. Pulang? Aku sendiri ragu apakah masih ada tempat untukku di sana.

Lalu aku berbalik ke jalanan berkelok yang terhampar di hadapanku. Entah apa yang menungguku di balik setiap tikungan ini. Aku tidak berani berharap adanya secercah kebahagiaan menungguku di sana. Aku terlalu kotor untuk mengharapkan hal sebaik itu.

Kembali ku tatap layar telepon genggam. Sekali lagi ku baca pesan dari Ruby. Tanpa berpikir panjang, aku menekan tombol option dan memilih delete message. Sedetik kemudian, pesan Ruby hilang dari pandanganku. Seolah belum puas, aku membuka telepon genggam itu, mengeluarkan batrai dan sim card kecil yang tersimpan di dalamnya lalu melemparnya ke kejauhan. Aku meraih ransel berisi pakaian dan menyimpan telepon genggam itu ke dasar ransel.

Aku berdiri dan memanggul ransel. Sekali lagi ku tatap jalanan yang membentang di belakangku. Matahari telah terbenam beberapa menit yang lalu, membuat jalanan itu terlihat suram akibat penerangan seadanya dari lampu jalan. Namun, setidaknya jalanan di hadapanku jauh lebih suram. Gelap dan berkelok-kelok.

Namun aku telah memutuskan. Jalanan gelap dan suram di hadapanku jauh lebih cocok untuk setan sepertiku, ketimbang tangisan Ruby yang memanggilku pulang. Aku hanya tidak ingin melukai siapapun lagi.


NB: Cerita ini merupakan side story dari Ruby's Wishes. Untuk kisah selengkapnya bisa dilihat di Ruby's Wishes part 1, part 2, dan part 3.

SHARE:
Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

0 Comments:

Post a Comment

BLOG TEMPLATE CREATED BY pipdig