Ruby's Wishes (Side Story): Adrian and Lucy

Leave a Comment

"Mommy... Mommy..."

Sayup-sayup telingaku menangkap lengkingan suara anak kecil di dekatku. Suara itu terasa begitu dekat, seolah dia berteriak tepat di atas tubuhku. Namun, mataku terasa enggan untuk terbuka. Nyeri merambati seluruh tubuhku, membuat segala persendianku seolah mati rasa. Aku bahkan tidak bisa merasakan dimana kaki dan tanganku. Pun, untuk sekedar mendesah aku juga tak sanggup. Serasa ada batu besar diletakkan diatas bibirku.

"Mommy... Mommy..."

Lagi, lengkingan itu memenuhi indra pendengaranku. Kali ini, disusul dengan bunyi detak sepatu mendekat ke arahku.

Siapapun itu, ku mohon jangan tambahkan lagi luka di tubuhku. Kalau bisa, bunuh saja aku. Agar tidak menderita kesakitan tanpa pertolongan seperti ini.

"Oh my God."

Kembali sebuah suara menyapaku.

"Mommy, kita harus menolongnya."

"Iya sayang. Bantu mommy mengangkatnya."

Kurasakan sebuah tangan mencengkeram pundakku. Kejadian tidak mengenakkan yang menimpaku beberapa saat lalu memantik kewaspadaanku. Otomatis aku menggelinjang untuk melepaskan diri. Sebuah perbuatan yang salah karena hanya membangkitkan rasa perih di sekujur tubuhku.

"It's OK. Don't worry. I won't hurt you."

Sebuah bisikan lembut membelai telingaku. Bisikan yang ternyata mampu menenangkanku. Aku pun berubah menjadi seperti seekor kucing penurut. Ku ikuti apa katanya. Percuma jika aku berontak, toh aku juga sudah kehabisan tenaga. Selain itu, tindakanku hanya akan membuat tubuhku semakin nyeri. Lagipula, kejadian buruk apa lagi yang kuharapkan terjadi pada diriku?

***

Sinar matahari pagi menyeruak masuk dan memaksaku membuka mata. Nyala terik itu menyilaukan mataku. Lama aku berusaha menyesuaikan mataku yang telah terbiasa dengan kegelapan di tidur panjangku dengan cahaya terang yang memaksa masuk. Mataku memandang berkeliling. Entah dimana aku berada, tapi setidaknya inilah kamar ternyaman yang pernah kuinapi semenjak aku melarikan diri. Kamar itu tidak besar tapi memiliki jendela yang menghadap langsung ke perkebunan kecil. Meski segala perabotan yang ada disana terlihat usang namun masih nyaman. Kasur ini misalnya. Begitu juga dengan lemari kayu di sudut ruangan. Meskipun sudah tua tapi tetap berdiri dengan kokoh.

Aku berusaha untuk bangun. Sebuah pilihan yang salah karena nyeri kembali menguasaiku. Kepalaku terasa berat dan pandanganku berkunang-kunang. Sial! Aku benci harus terlihat lemah seperti ini.

Sebuah ketukan sepatu terdengar nyaring di pagi yang sunyi ini. Langkah itu terdengar kian mendekat. Aku menatap pintu dengan penuh kewaspadaan. Pintu berderit membuka. Sesosok perempuan menyembul di baliknya. Aku mencoba mengingat siapa dia, tapi tak ada satupun memoriku tentang dia. Namun, perempuan itu tersenyum dan melangkah memasuki kamarku.

“Kamu sudah bangun?” tanyanya lembut.

Perlahan aku mengangguk sambil terus menatapnya. Dilihat dari wajahnya, aku yakin dia hanya lebih tua beberapa tahun dariku. Tubuhnya tinggi langsing. Sekilas aku melihatnya seperti model-model yang berseliweran di majalah favorit Safir. Rambutnya berwarna coklat dan terurai panjang dengan gelombang-gelombang kecil di ujungnya. Wajahnya polos tanpa polesan make up. Dia terlihat cantik meskipun jins lusuh, sepatu boots yang dihiasi tanah kering, dan kemeja kotak-kotak usang menutupi tubuhnya.

“Aku membawakanmu sarapan,” ujarnya seraya meletakkan nampan di atas tempat tidur. Aroma teh dan roti bakar menggelitik penciumanku. Aku merasa lapar. Aku sudah lupa kapan terakhir kali makanan masuk ke lambungku.

Aku memaksakan diri untuk duduk meski harus menahan perih di sekujur tubuhku. Saat bergerak itulah aku menyadari pakaianku telah berganti. Sebuah celana kerja berwarna khaki yang terlihat sama tuanya dengan perabotan di ruangan ini dan kebesaran untukku serta sebuah kaos bergambar bendera Amerika Serikat yang sudah memudar. Ku lirik perempuan itu. Sesaat rasa malu menyinggungku ketika pikiran bahwa perempuan itulah yang mengganti bajuku hinggap di otakku.

“Aku Lucy,” ujarnya. “Anakku Megan menemukanmu terluka parah tidak jauh dari rumahku. Lalu, kami memutuskan untuk membawamu ke sini dan mengobati lukamu.”

Refleks aku teringat teriakan anak kecil yang memanggil “Mommy” beberapa waktu lalu.

“Luka-lukamu banyak tapi tidak terlalu parah. Mungkin beberapa hari lagi luka itu sudah mongering dan lebam-lebam itu juga akan hilang,” sambungnya.

Aku memandang berkeliling mencari cermin, tapi tidak ku temukan. Syukurlah. Aku tidak harus melihat keadaanku yang sepertinya memprihatinkan.

Lucy bangkit berdiri. “Aku harus berangkat kerja. Kalau kamu lapar, di dapur masih banyak makanan. Aku baru pulang nanti sore. Selama aku tidak ada, kamu tidak usah sungkan-sungkan. Anggap saja rumahmu sendiri.”

Aku mengangguk. Lucy melemparkan senyumannya dan berbalik menuju pintu.

“Nggg Lucy?” panggilku. Perempuan itu berhenti dan menatapku. “Thanks,” ujarku.

Lucy mengangguk dan menutup pintu kamarku.

***

Pintu kayu itu berderit ketika aku menutupnya. Setelah tiga hari terbaring tak berdaya, inilah kali pertama aku menjejak dunia luar. Luka di tubuhku berangsur mulai mengering dan lebam-lebam itu tidak lagi menimbulkan nyeri ketika aku menggerakkan tubuh. Aku tertawa penuh ironi mendapati Tuhan masih menyelamatkanku di saat tak sedikitpun pikiranku tertuju pada-Nya. Aku memang kehilangan semuanya, motorku, tabunganku yang tidak seberapa, pakaianku yang hanya beberapa helai, dan sebagai gantinya aku mendapatkan luka lebam di sekujur tubuh.

Pikiranku melayang ke kejadian naas yang menimpaku. Senja baru saja menjelang dan aku sedang dilanda kelaparan akut ketika melewati perempatan itu. Segerombol pria sedang mabuk-mabukan di atas mobil pick up yang penuh karat. Mereka menghentikanku, menodongkan pisau dan meminta sejumlah uang. Aku tersenyum kasihan, uang apa yang mereka harapkan dariku? Namun sepertinya senyumku menyulut kemarahan mereka. Pukulan bertubi-tubi mereka daratkan di tubuhku. Aku sendiri, dalam keadaan lelah dan lapar, sehingga tak ada tenaga untuk melawan empat pria bertubuh kekar itu. Hasilnya, aku tergeletak di pinggir jalan, dan mereka membawa kabur motor serta tasku.

Lalu, disanalah Tuhan mempertemukanku dengan Lucy melalui perantara malaikat kecil bernama Megan. Perempuan itu begitu telaten merawatku, memberikanku makanan dan tempat berteduh. Dia selalu menanyakan kabarku dan apa yang ku butuhkan. Perempuan yang sangat baik hati tapi menimbulkan hutang besar di diriku.

Dan disinilah aku sekarang, berdiri di teras belakang rumah Lucy. Mataku beredar ke sekeliling. Aku melihat sebuah chevy tua yang baknya dipenuhi oleh kentang yang masih segar. Mataku kemudian beralih ke arah perkebunan kecil itu. Perkebunan itu berukuran sedang dan sepertinya sedang memasuki masa panen. Beberapa karung berisi kentang tergeletak di pinggir kebun.

“Hai, kamu sudah bangun.”

Sebuah suara mengagetkanku. Aku beralih ke arah kanan dan melihat Lucy tampak kewalahan menyeret karung besar berisi kentang. Peluh berceceran di kulit putihnya. Rambutnya yang panjang diikat acak dan dia mengenakan pakaian kebesarannya, jins usang, kemeja kotak-kotak, dan sepatu boots selutut khusus bertani.

Lucy melemparkan karung itu ke bak chevy. Dia mengusapkan tangannya ke bagian belakang celananya. Dia berjalan ke arahku seraya menyeka peluh yang berjatuhan dengan punggung tangannya.

“Bagaimana keadaanmu hari ini?”

“Baik,” jawabku. “Apa yang sedang kamu lakukan?”

Lucy berdiri di sebelahku dan menatap kebun kentangnya. “Kentang-kentang ini harus dipanen tapi Ryan tidak bisa menolongku. Terpaksa aku melakukannya sendiri,” jawabnya dengan nafas tersengal-sengal.

Aku melirik Lucy. Sebuah nama pria meluncur dari bibirnya. Kecurigaanku mengatakan itu adalah suaminya.

“Aku bisa menolongmu.” Sudah sepantasnya, mengingat begitu banyak kebaikan yang ku dapatkan sedangkan belum satupun tenaga ku keluarkan di rumah ini.

Namun Lucy menggeleng. “Kau masih sakit, Adrian.”

“Tidak, aku merasa sudah cukup kuat untuk mengangkut karung-karung itu.”

Lucy menggeleng. “Lupakan saja karung-karung itu. Biar besok Ryan yang mengangkatnya ke mobil dan membawanya ke pembeli.”

“Ryan?” tanyaku tiba-tiba.

“Dia bekerja untukku mengurus perkebunan ini. Aku tidak sanggup mengolah kebun ini sendiri meski ya… tidak terlalu luas,” jawab Lucy santai.

Dugaanku salah. Ryan bukan suaminya.

“Mommy.”

Sebuah teriakan mengagetkanku. Sesosok anak kecil berusia sekitar lima tahun berlari ke arah kami. Seekor Siberian Husky berbulu coklat berlari disebelahnya dengan lidah terjulur. Aku menebak itu Megan meski belum pernah melihatnya secara jelas. Hanya sesekali aku menangkap sosoknya yang mengintip di balik pintu ketika Lucy datang ke kamarku. Megan memiliki rambut dan kulit yang sama dengan Lucy. Untuk ukuran anak kecil, dia termasuk menggemaskan, terlebih dengan mata hijau, pipi yang selalu memerah, dan rambut kuncir duanya. Seumur hidupku, belum pernah aku bersentuhan dengan anak kecil, tapi begitu melihat Megan, serta merta aku teringat Safir.

Aku suka anak kecil. Membayangkan bermain bersamanya, berkejar-kejaran, menggendongnya tinggi-tinggi, menyisir rambutnya, menyuapinya, meninabobokannya. Ah Adrian, itu menyenangkan sekali.

Namun, sampai di akhir hayatnya, dia tidak pernah merasakan memiliki seorang anak.

Aku tersentak dan mengembalikan diriku ke masa sekarang. Ku lihat Megan sudah berada di dekat ibunya. Anjing besar itu tampak mengendus-ngendus kakiku dan sesekali menggonggong ke arahku.

“Molly,” panggil Lucy. Dia menggelengkan kepalanya. Anjing itu seolah mengerti maksud Lucy. Dia berhenti mengendusiku dan terkulai manja di samping kaki Megan.

You must be Megan,” ujarku.

Megan menatapku takut-takut dari balik bulu matanya yang lentik.

Aku berjongkok hingga bisa sejajar dengannya. Ku ulurkan tangan kananku. “Aku ingin berterima kasih padamu karena menolongku waktu itu.”

Megan menatap Lucy sebentar. Setelah melihat ibunya mengangguk, dia menyambut uluran tanganku. “You’re welcome.”

“Aku Adrian.”

“Hi Adrian,” ujanya. Ketakutan yang sedari tadi memancar di matanya sirna sudah. Dia tersenyum hangat.

“And, who is he?” tanyaku seraya membelai leher Siberian Husky yang tengah tidur-tiduran manja itu. Anjing itu menggelinjang dan bergeliat manja dengan lidah terjulur.

Megan ikut-ikutan menggelitik anjingnya. “Namanya Molly.”

“Nama yang sangat cantik.”

Sekilas aku melirik Lucy. Dia tengah menatap Megan dengan tatapan yang… entahlah, aku tidak tahu. Ada seberkas rindu di sana. Aku memang tidak tahu banyak tentang perempuan ini, namun apakah takdir benar-benar membawaku kepadanya? Kepada keluarga kecilnya? Haruskah aku berbuat sesuatu untuknya atau cukup menganggapnya sebagai malaikat dan rumah ini sebagai persinggahan sementara? Entahlah. Kembali ku tatap Lucy. Sebuah senyum terukir di wajahnya. Dan kerinduan itu masih tercetak jelas di matanya.

***

Malam sudah meninggi tapi mataku masih belum tertutup. Meski kelelahan menguasaiku, aku tetap tidak bisa tertidur. Setelah berhari-hari hanya tidur-tiduran, semua persendianku terasa kaku ketika aku memutuskan untuk bergerak. Aku sudah merasa lelah meski baru mengangkut beberapa karung kentang ke bak mobil. Aku sudah ngos-ngosan padahal baru berlari beberapa meter bersama Megan dan Molly.

Malam kian hening di rumah tua ini. Aku bergerak-gerak gelisah di tempat tidur. Sia-sia saja, toh mataku tetap tidak bisa terpejam. Kerongkonganku terasa kering dan aku memutuskan untuk mengambil minum ke dapur. Syukur-syukur aku bisa menemukan sebotol bir di kulkas.

Penerangan yang remang-remang menyambutku. Hanya ada satu lampu yang dinyalakan, di dapur. Meski terasa janggal, setidaknya lampu itu cukup untuk menuntunku dan mencegahku berbuat keributan dengan menabrak benda-benda di rumah ini. Aku baru saja hendak memasuki dapur ketika telingaku mendengar bunyi dentang es batu beradu gelas kaca. Mataku mencari-cari asal suara.

Dan disanalah aku menemukan Lucy, duduk sendiri di sofa dengan televisi yang dibiarkan menyala tanpa suara. Sudah lewat tengah malam, dan perempuan itu masih terjaga? Kakiku refleks menghampirinya.

Lucy duduk dengan selimut menutupi paha dan kakinya. Sebuah album foto tergeletak di sampingnya. Sebotol anggur yang tinggal setengah berada di atas meja.

“Lucy,” panggilku.

Dia terkesiap dan berbalik. Wajahnya tampak sedih. Tatapannya sayu. Aku berani bertaruh dia baru saja menangis.

“Adrian? Mengapa kamu ada di sini?”

Aku bergerak menghampiri dan duduk disampingnya. “Aku tidak bisa tidur.”

Lucy memaksakan diri untuk tersenyum. “Mau menemaniku minum?”

Aku mengangguk. Lucy menyingkap selimut yang menutupinya dan beranjak ke dapur mengambilkan gelas. Sepeninggal Lucy mataku menangkap album foto yang terbuka. Dalam diam ku raih foto itu. Lucy dan Megan, beserta seorang pria yang entah siapa. Pria itu bertubuh tinggi dengan badan kekar dan kulit coklat. Matanya hijau, persis seperti mata Megan. Pria itu tengah menggendong Megan di pundaknya dan Lucy bergelayut manja di lengannya. Mereka semua tersenyum bahagia.

Pria ini pastilah suaminya.

Denting es batu beradu gelas kaca kembali mengagetkanku. Segera ku kembalikan foto itu ke tempatnya dan menatap layar televisi. Lucy menghenyakkan tubuhnya di sebelahku, langsung menuang anggur tanpa banyak bicara dan menyodorkannya kepadaku. Dia juga menuang untuk dirinya sendiri dan meneguknya. Lucy kembali menyelimuti kakinya, dan berbaik hati berbagi selimut itu denganku.

“Thanks,” ujarku setelah menghabiskan minuman itu dalam sekali tegukan. Lucy mengambil gelasku dan mengisinya kembali. Minuman itu kembali ku habiskan dalam sekali teguk. Lucy tertawa kecil. Sepertinya dia menangkap kerinduanku akan alkohol.

“Biasanya aku hanya minum sendiri tengah malam, kalau Megan sudah tidur,” ujarnya.

Ku tatap wajah sayunya. “Setiap hari?”

Dia menggeleng. “Kalau aku hanya sedang ingin saja.”

“Seperti malam ini?”

Lucy mengangguk.

“Ada yang sedang kau pikirkan?” tanyaku lagi, sambil kembali melirik foto keluarga di sampingnya. Kembali bayangan kerinduan di wajah Lucy sore itu mengusikku. Dia merindukan suaminya, simpulku, mengingat aku tidak pernah melihat seorangpun pria di rumah ini selama tinggal di sini.

“Lusa ulang tahun Megan,” jawabnya, “dan aku tidak bisa memberikan kado yang sangat diinginkannya.”

Aura kesedihan memenuhi ruangan. “Apa yang diinginkannya? Barangkali aku bisa bantu.”

Lucy menggeleng lemah. “Tidak ada yang bisa kau perbuat, Adrian. Bahkan aku pun tidak.”

“Apa yang diinginkannya?” Kembali aku mengulang pertanyaan yang sama.

Lucy meraih foto keluarga di sampingnya. Ditatapnya foto itu. Dalam keremangan malam bisa ku lihat butiran bening terkumpul di sudut matanya. “Dia menginginkan Noah,” ujarnya pelan. Ibu jarinya mengusap wajah pria di foto itu. “Tapi aku tidak bisa memberikan Noah di hari ulang tahunnya.”

Noah.

“Juga di hari-hari lainnya. Noah tidak akan ada lagi.”

“Apa yang terjadi padanya?” Ku beranikan diri untuk bertanya.

“Sama sepertimu. Hanya saja Tuhan masih berbaik hati padamu dan memberimu kesempatan untuk tetap hidup.”

Malam itu. Segerombol pemuda mabuk mengacau di ladang kami. Noah terjaga. Dia mengintip dari balik jendela dan melihat pengacau itu merusak kentang yang sudah siap panen. Noah naik darah dan memutuskan untuk mengusir mereka. Aku mencegahnya, tapi percuma membujuk Noah saat dia dikuasai emosi. “Stay here and close the door,” ujarnya sebelum pergi. Aku ingin menyusulnya tapi dia mencegahku. Aku pun hanya bisa melihat tubuhnya didorong kian kemari seperti bola, dipukuli hingga akhirnya tergeletak bersimbah darah. Aku segera berlari keluar, tapi di pintu kamar, aku melihat Megan. Dia menangis dan menggigil ketakutan. “Daddy,” ujarnya. Ku urungkan niat untuk keluar. Aku tidak ingin membahayakan Megan. Menjelang pagi, setelah para pengacau itu pergi, aku keluar dan mendapati Noah dalam keadaan memprihatinkan. Aku membawanya ke rumah sakit. Dia sempat koma selama beberapa hari sebelum akhirnya meninggal.

Ku lihat Lucy mulai terisak. Dadanya naik turun menahan sesak. Air mata bergulir di pipinya. Ku raih dia ke dalam pelukanku dan ku biarkan dia membagi kesedihannya disana. Sejenak, kesedihan yang telah lama ku pendam, menyeruak keluar. Kami berbagi takdir yang sama, menyaksikan orang yang sangat kami cintai meregang nyawa dengan cara yang tidak sepantasnya. Namun, setidaknya Lucy masih memiliki Megan untuk bertahan, sementara aku? I have nothing.

“I miss him,” bisik Lucy.

“I know,” balasku dalam bisikan. “Aku paham perasaanmu. Sesak yang kau rasakan setiap kali mengingat orang yang kau cintai dan kau tidak bisa berbuat apa-apa.”

Lucy memelukku, melampiaskan semua tangisannya. Aku mengusap punggungnya yang berguncang hebat akibat tangis. Hanya ini yang bisa ku lakukan, sama seperti yang dilakukan Ruby setiap kali aku menangis untuk Safir.

Emosi menguasai Lucy, emosi yang terus dipendam dan disembunyikannya di balik topeng ketegaran demi putrinya, Megan. Lama Lucy menangis hingga akhirnya tubuhnya melemah dan bahunya tidak lagi berguncang.

Dia melepaskan diri dari pelukanku. Diraihnya botol anggur tapi segera ku cegah. “Kau sudah terlalu banyak minum,” ujarku dan menjauhkan botol itu dari jangkauannya.

“Lucy,” panggilku. Dia menoleh. “Noah tidak akan kembali, tapi kau bisa menghadirkannya di hari ulang tahun Megan.”

“Caranya?”

“Kau tahu itu,” sahutku, “dan izinkan aku membantumu.”

***

Lucy sedang berlepotan tepung ketika aku memasuki dapur. Dia hanya menyapaku sekilas sebelum kembali memusatkan perhatan pada adonannya.

Aku mengambil sebotol air mineral dari dalam kulkas. “Aku pergi sebentar,” ujarku. Lucy tidak bertanya lebih lanjut. Dia sibuk menyamakan apa yang tertera di dalam buku resep dengan adonan di ats meja.

***

“Adrian, apa yang kau lakukan?”

Aku melirik ke bawah. Ku lihat Lucy sedang berkacak pinggang dan mendongak ke atas menatapku. Aku tidak bisa menjawabnya karena tengah menggigit tali besar dan sibuk memanjat pohon.

HAP! Aku sampai di sebuah ranting yang lumayan besar. Ku injak-injak ranting itu untuk membuktikan ketahanannya. Cukup kuat, pikirku. Tanpa berlama-lama aku berjalan di atas ranting hingga kemudian berhenti di tengah-tengahnya. Aku mendudukkan diri di atas ranting dan mulai melepaskan tali dari gigitanku. Ku ikatkan tali itu menjadi dua simpul. Setelah memastikan simpul itu terpasang dengan erat, aku menjatuhkan tali itu hingga menjuntai, tepat di hadapan Lucy yang masih menatapku dengan dahi berkerut.

Aku kembali menuruni pohon dengan cepat.

“Adrian,” panggil Lucy lagi.

Aku tidak menghiraukannya dan segera berlari menuju chevy yang terparkir tidak jauh dari dari rumah. Lucy masih menatapku awas, berusaha menerka-nerka apa yang sedang ku perbuat.

Tatapannya terbelalak ketika melihatku kembali sambil menenteng sebuah ban mobil bekas. Bibirnya menganga menahan kaget. Aku hanya melemparkan sebaris senyum dan kembali berkutat dengan tali yang ku pasang di pohon. Ku ikatkan tali itu di kedua sisi ban hingga terbentuklah sebuah ayunan sederhana.

Noah pernah berjanji akan membuatkan ayunan dari ban mobil bekas untuk Megan.

Begitu pekerjaanku selesai, aku berbalik dan menatap Lucy. Dia terpekik melihat ayunan sederhana itu. Refleks dia berlari memelukku.

“Thanks Adrian. Terima kasih,” ujarnya senang.

Aku tersenyum. Perasaan senang dan puas menelusup masuk ke rongga hatiku.

***

Megan terpekik riang tapi takut-takut ketika aku mendorong punggungnya dan dia terlempar tinggi ke angkasa. Tangannya memucat akibat terlalu keras mencengkeram tali penyangga ayunan itu. Meski takut, Megan selalu memintaku untuk mendorongnya lebih kuat.

“Mommy,” teriaknya.

Aku melihat Lucy tengah berjalan menuju ke arah kami sambil membawa seloyang kue dan lilin berbentuk angka lima di atasnya. Molly berlari di sebelahnya dengan lidah terjulur.

“Saatnya potong kue sayang,” ujar Lucy.

Aku menghentikan permainan ayunan Megan dan membopongnya turun. Megan cemberut karena keasyikannya diusik. “Nanti kita lanjutkan lagi,” ujarku dan mampu membuat gadis kecil itu tersenyum lebar.

Ayunan itu begitu mengusik perhatiaannya, sampai-sampai kue ulang tahunnya tidak terlalu diperhatikan. Dia memadamkan api hanya dengan satu kali tiupan. Dia mencium pipi Lucy, dan mencium pipiku juga. Dia memotong kuenya, menyerahkan potongan pertama untuk Molly, potongan selanjutnya untuk Lucy, kemudian untukku. Dia menghabiskan kuenya dengan lahap. Begitu kuenya habis, dia menarik tanganku dan merengek ingin main ayunan lagi.

Aku dan Lucy hanya tertawa. Segera saja ku gendong dia dan ku bawa ke ayunan. Lucy mengikutiku. Berganti-gantian aku dan dia mendorong tubuh Megan. Megan berteriak girang, ditingkahi gonggongan Molly yang ku artikan sebagai nada iri.

Lucy tersenyum puas. Dia menatapku dan mengecup pipiku lembut.

Darahku berdesir menerima kecupan itu. “Terima kasih Adrian. Karenamu, aku bisa memenuhi impian Megan,” ujarnya.

Impian. Kata itu menelusup masuk ke rongga otakku, membuatku terlempar mengingat Ruby. Dan satu impiannya yang belum ku penuhi.

Hutangku.

Ku lihat Lucy yang tertawa lepas bersama Megan. Lucy. Perempuan itu tetap berusaha bertahan dalam kesedihannya, berusaha tenang dalam kegamangannya, berusaha tabah dalam sedih dan luka hatinya. Semuanya demi Megan. Ku alihkan pikiran kepada diriku sendiri. Aku gagal bertahan dalam kesedihanku, gagal melepaskan kegamanganku, larut dalam sedih dan luka hatiku. Setidaknya, begitulah aku jika tidak ada Ruby disampingku.

Namun, aku meninggalkannya dengan alasan tidak ingin menyakitinya lebih jauh.

Namun, aku juga telah terlanjur berjanji padanya.

Hutangku.

Ku rasakan genggaman hangat di tanganku. Lucy berdiri di hadapanku dengan senyum hangat di wajahnya. “Kau ingin pulang Adrian?”

Pulang? Entahlah. Kata ‘pulang’ tidak berarti apa-apa bagi pria tanpa tujuan sepertiku.

Genggaman Lucy di tanganku kian erat. “Pulanglah, Adrian.”

“Aku tidak punya rumah,” sahutku lirih.

“Jelas kau punya,” sergahnya. Satu tangannya yang bebas menunjuk dadaku. “Hatimu akan menuntun langkahmu, Adrian.”

Ku tatap Lucy. Dia balik menatapku yakin.

Aku harus melunasi hutangku.

Keputusan itu mengalir begitu saja, dan aku tidak berniat mencabutnya.

“Thanks, Lucy.”

Aku menatap ke kejauhan, ke suatu tempat di mana ada seseorang yang menungguku. Mungkin, kesanalah aku harus pulang.

GUKK! Gonggongan Molly seakan menjawab pertanyaanku.


NB: Akhirnya saya melanjutkan kisah Ruby juga. Semoga kehadiran tokoh baru bernama Lucy bisa diterima. Untuk keseluruhan cerita, bisa dilihat di kategori Ruby's Wishes. Selamat menikmati.

SHARE:
Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

0 Comments:

Post a Comment

BLOG TEMPLATE CREATED BY pipdig