Semua Hanya Ada Dalam Kartu

3 comments

Pria itu tersenyum tipis. Menggodaku -mungkin.

Ku tarik nafas dalam-dalam. Keringat dingin mengaliri punggungku, membuat gaun berbahan spandeks itu melekat erat di tubuhku. Rasanya sungguh tidak nyaman. Namun, berada di ruangan ini jauh lebih tidak nyaman lagi.

Well, mungkin sumber ketidaknyamanan itu adalah debaran jantungku.

Kembali aku menghela nafas. Pria itu masih melirikku dengan mata kucingnya –sungguh, di ruang temaram ini matanya tampak lebih menyala. Persis seperti mata kucing. Hanya saja ada kantuk membayang di sana sehingga matanya terihat lebih sayu. Dan lagi, dia tersenyum.

“Kamu takut?” tanyanya, “atau ragu?’

Takut atau ragu? Entahlah. Mungkin saja aku ragu karena selama ini, perjudian dengan masa depan yang ku lakukan hanya sebatas membaca ramalan bintang di majalah. Lebih dari itu? Nothing. Atau bisa saja aku takut. Takut menghadapi setiap kalimat yang meluncur dari bibirnya. Takut akan paparan masa depanku sendiri. Dan bisa juga aku takut…

Sial, aku mengutuk dalam hati. Ini semua gara-gara Lana. Kalau saja temanku itu tidak dirasuki ide kreatif berlebihan, pasti sekarang aku sedang mendekam di kamar kos. Tenggelam dalam lantunan lagu-lagu NKOTB dan novel romance kesukaanku.

“Pokoknya kamu harus ikut aku keluar malam ini. Jangan berlagak seperti perawan tua kesepian.”

Lana tidak pernah bisa ditolak. Itulah mengapa sekarang aku terjebak di sini, di depan pria ini.

“Aku tidak bisa mulai jika kamu belum siap.”

Aku terpaku. Ku putar kepala dan melihat Lana tengah asyik mengobrol dengan pria entah siapa di meja kami. Dia sama sekali tidak membantu. Setelah menyeretku ke sini, dia lalu meninggalkanku begitu saja. Benar-benar sahabat yang baik.

“Lana bilang kamu selalu penasaran ingin di baca? Lalu kenapa sekarang jadi ragu?”

Aku memang penasaran ingin di baca tapi tidak olehmu, jawabku dalam hati. Bagaimana mungkin aku bisa tenang ketika seseorang menelanjangi masa depanku sementara orang itu membuat jantungku berlompatan tidak karuan? Tidak diragukan lagi, dia pasti sudah menangkap aura cinta menyelimuti tubuhku saat ini.

Juga saat-saat sebelumnya.

Kembali aku menghela nafas. “Go on,” ujarku.

Dia kembali tersenyum.

“Lakukan, Aryo.”

Aryo membuka kartu pertama. The Tower.

“Pergolakan dalam hidup.” Aryo menaikkan sebelah alisnya. “Pelajari lagi semua rencana yang sudah kamu susun. Kamu perlu menata ulang semuanya.”

Aku mendesah. Penuturannya jelas bukan merupakan awal yang baik.

Aryo membuka kartu kedua. The Fool. Kembali aku melengos.

“Kamu perlu melakukan sebuah lompatan yang cukup berani.”

Mudah baginya berkata seperti itu, tapi sulit untuk ku realisasikan, mengingat kelemahanku yang suka mengkhawatirkan hal yang seharusnya tidak perlu dipikirkan.

“Hei, jangan terlalu larut dalam kekhawatiranmu. Kamu harus lebih memperkuat keyakinanmu.”

“Semoga saja.”

Kembali Aryo membuka kartu di tangannya. The Hermit.

“Kamu betah dengan kesendirianmu?”

Aku tidak menjawab.

“Kamu menikmatinya, bisa ku lihat itu.”

Aku terbelalak. “Kamu tahu? Maksudku, aku tidak… ya.. tidak ada yang menyadarinya. Aku selalu berusaha mencari pendamping.”

Aryo tergelak. “Itu yang kamu perlihatkan di luar, tapi di dalam?” Dia menggeleng. “Kesabaranmu membuatmu betah berlama-lama dalam kesendirian itu.”

Aryo kembali fokus pada kartu-kartunya. Kartu ke empat, The Lover.

Senyum mengembang di wajah Aryo. Begitu pula di wajahku.

“Cinta,” gumamnya pelan. Ditatapnya aku lekat-lekat. Mata kucingnya itu menyala kian terang di bawah temaram lampu. Jantungku semakin tidak karuan. Keringat dingin kian membanjiri punggungku. Bisakah Aryo melihat –atau merasakan- debaran itu? Sesuatu yang sepertinya tidak mustahil untuknya.

“Kamu sepertinya begitu yakin dengan cinta yang kamu rasakan sekarang. Hanya saja…”

Aryo membuka kartu selanjutnya. The Sun.

“Kamu harus memberitahunya,” sambung Aryo.

“Haruskah?”
“Selama ini dia hanya menebak-nebak. Kamu butuh untuk meyakinkannya.”

“Entahlah,” sahutku.

“Aria, dia hanya butuh diyakinkan. Bilang bahwa kamu mencintainya, hanya itu.”

“Hanya itu? Aku perempuan timur yang masih menganggap tabu perempuan menyatakan cinta,” tukasku cepat. Sedetik kemudian aku menyesali ucapanku. Untuk apa aku curhat segala?

Namun, Aryo hanya tertawa. “Kamu lucu Aria,” komentarnya.

Aku terdiam saja.

“Kamu tidak perlu takut mengutarakannya.” Aryo kembali serius. “Dia hanya ingin mendengar kalimat itu meluncur dari bibirmu.”

“Mengapa tidak dia saja yang mengutarakannya duluan?” Oke, sekarang Aryo bukan lagi seorang Tarot Reader, tapi sudah beralih menjadi Konsultan Pernyataan Cinta.

“Dalam hatinya, dia tahu perasaanmu, tapi dia menunggu.” Aryo menatapku tajam. “Aku menunggu.”

Petir menghantam gendang telingaku. “Apa maksudmu?”

“Aku menunggu kamu mengatakan isi hatimu.”

Dahiku berkerut. Sepertinya ini bukan lagi sesi pembacaan tarot, tapi… “Aku tidak mengerti.”

“Kamu tahu aku bisa ‘membacamu’, dan auramu itu.” Aryo menggeleng. “Auramu benar-benar meneriakkan isi hatimu, dan ada namaku di sana.”

Aku terkesiap. Seharusnya aku lebih berhati-hati saat jatuh cinta kepada seseorang yang memiliki kelebihan seperti Aryo. Tapi, nasi sudah menjadi bubur.

“Tebakanku benar kan, Aria?”

Aku tertunduk. “Kau membuatku malu.”

Aryo terkekeh. “Untuk apa malu? Ayo katakan kalimat itu, Aria.”

Aku terdiam. Bisu terhampar selama beberapa detik.

“Atau harus aku yang mengucapkannya dulu?”

“Apa?” Aku terkesiap.

“Aku mencintaimu, Aria.”

Benarkah? Benarkah itu? Ku tatap Aryo untuk melihat kesungguhannya. Dan, ya… ku lihat kesungguhan di balik wajah yang biasa bersinar jenaka itu. Tapi, bagaimana mungkin Aryo…

“Aria…”

Sebuah teriakan mengagetkanku. Ku buka mata dan sesaat kebingungan melandaku. Bukankah aku tadi sedang berada di Peninsula Resto dan sedang di baca oleh Aryo? Namun, mengapa aku sekarang berada di ruangan sempit yang sangat ku kenal? Poster besar NKOTB bersanding dengan Britney Spears memenuhi ruang pandangku. Aku mengangkat tubuh dan duduk. Sofa bermotif loreng yang ku tempati terasa begitu familiar, lalu kemana karpet merah tempat aku mendengar Aryo membacakan kartuku? Dan, yang paling penting, dimana Aryo?

Aku berbalik dan mendapati Lana sedang menatapku garang.

“Tebakanku benar. Kamu pasti bertingkah seperti perawan tua lagi malam ini,” cecar Lana.

Aku mendengus. “Usia kita sama. Jangan mengataiku perawan tua karena kamu sendiri belum menikah.”

Lana menarik tanganku hingga aku tersentak berdiri. Novel yang ada di pangkuanku meluncur turun. “Tapi setidaknya aku bersosialisasi keluar rumah, bukan mengurung diri seperti ini.”

Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Aku merasa de javu. Perasaanku, aku pernah mengalami situasi ini, tapi kapan?

“Sana ganti baju, dan ikut aku ke Peninsula resto.”

“Apa?” de javu yang ku rasakan kian kuat.

“Sekarang malam Minggu dan Aryo pasti sedang di Peninsula. Kamu harus membuat gebrakan baru kalau tidak ingin kisah percintaanmu berakhir mengenaskan,” cecar Lana. “Seperti yang sudah-sudah.”

Pola de javu itu semakin jelas. Dan, oh… aku tersadar. Ini bukan de javu, melainkan…

“Biarkan Aryo membacamu.” Lana melontarkan idenya.

Aku menganga. Mimpiku mengapa bisa mewujud nyata seperti ini? Apa ini pertanda? Dan, kalau ini pertanda, maka nanti…

Tanpa pikir panjang aku segera berlari ke kamar mandi setelah sebelumnya menyambar gaun hitam selutut dari dalam lemari.


NB: Cerita ini hanya fiktif belaka. Segala kesamaan nama, tokoh, tempat, dan profesi hanya akal-akalan penulis saja. Atau, pelampiasan kegalauan penulis, huahahhahahaha


SHARE:
3 Comments

Mencintai Dalam Kerahasiaan

Leave a Comment
Mataku menyipit demi mengendalikan emosi. Nafasku memburu membuat dadaku terasa sesak. Namun pria di hadapanku ini, masih saja membakar diriku dalam kecemburuan.
Pria itu tampak berseri-seri di arena permainan anak. Sesosok perempuan sederhana tak lepas dari genggamannya. Pun seorang bocah perempuan kecil, tak lepas dari gendongannya. Pria itu tampak sabar membawa anaknya berpindah-pindah dari satu permainan ke permainan lainnya.
Darahku mendidih. Pemandangan itu bukan sekali dua kali ku saksikan, melainkan sering. Namun, seperti yang sudah-sudah, aku hanya bisa memendam emosi seorang diri. Tanpa bisa berbuat apa-apa. Ingin rasanya aku berlari ke hadapannya, menariknya menjauh dari keluarga kecilnya itu. Tapi, aku tidak bisa. Perjanjian kecil kita membuatku terpaksa mengurut dada dan menahan nyeri di hatiku.
Perjanjian kecil yang menyatakan bahwa...

"Kita saling mencintai, dan biarlah kita menjaga cinta ini dalam kerahasiaan."


Dadaku kian sesak. Nyeri merambati keseluruhan hatiku, menelusup masuk dan menghancurkannya. Cemburu yang melingkupiku telah menjadi makanan sehari-hari untukku.
Aku mencintainya, dan ku yakin pria itu juga mencintaiku. Hanya saja, kami saling mencintai dalam kerahasiaan. Hanya kami dan Tuhan yang tahu betapa besar cinta yang kami rasakan, sementara dunia melihat kami hanya sebatas teman.
Pria itu keluar dari arena permainan anak. Bersama keluarga kecilnya, dia menelusuri lorong pusat perbelanjaan yang ramai siang ini. Ku seruput minumanku sampai habis dan membuntutinya.
Entah apa yang merasuki hingga aku melakukan perbuatan tercela itu. Aku merindukannya, dan sangat ingin melihatnya, meski dari jauh. Aku rasa, ini cukup menjadi alasan untuk membenarkan tindakanku.
Mereka masuk ke sebuah toko baju. Aku berdiri di pagar pembatas di luar toko, tidak jauh dari toko yang dimasukinya. Mataku mencuri-curi mengintip ke dalam toko, sekedar memastikan apa yang sedang dilakukannya. Sekali lagi rasa sakit menghantam hatiku ketika melihat dia tengah memilihkan baju untuk perempuan itu. Kecemburuan kian berkuasa di diriku.
Aku masih bergeming di tempatku hingga dia keluar dari toko. Dia melihatku. Kami bersitatap. Wajahnya menegang melihatku yang menantangnya. Dipaksakannya menarik bibir membentuk sebuah senyuman, tapi matanya sibuk melirik perempuan di sebelahnya, memastikan perempuan itu tidak menyadari kehadiranku. Hanya semenit waktu yang diberikannya untukku. Dia tidak berkuasa apa-apa ketika perempuan itu menariknya. Meski sebaris senyum kembali ditujukannya untukku, itu tidak cukup untuk mengobati kerinduan dan rasa sakit hatiku.
Dia pun meninggalkanku, sendiri, dalam cinta yang terjaga kerahasiaannya dari mata dunia.
***

"Aku melihatmu kemaren."
Aku mendongak. Sebaris senyum di wajah yang ku rindukan menyambutku.
Pria itu menarik kursi di hadapanku dan menghempaskan tubuhnya yang menggiurkan itu diatasnya.
"Kebetulan aku sedang berada di sana," timpalku.
"Kamu tahu, aku sangat ingin menghampirimu."
Aku tergelak. "Tapi kamu tidak bisa?"
Dia menunduk, memainkan sendok di piring kosongku.
"Keterbatasan di antara kita menyakitiku," bisiknya lirih.
Ku hentikan tawaku dan berganti helaan nafas berat. "Resiko buat kita."
"Mengapa kita harus menjaga kerahasiaan cinta ini?" Matanya sayu menatapku.
"Damar, ingatkah kamu akan ucapanmu di saat kamu menyatakan cinta?"
Dia mengangguk.
"Kamu sendiri yang bilang, tidak mudah menanggung cinta ini. Keberadaan cinta yang kita rasakan tidak pernah dipandang benar. Kamu telah berkeluarga, begitupun aku, dan kita sama-sama terkurung dalam kehidupan yang tidak kita inginkan."
Aku berhenti untuk menghela nafas. "Kamulah kehidupan yang aku inginkan, Damar. Kamu tentu ingat apa yang terjadi saat kita memaksakan diri untuk berpisah?"
Lagi-lagi dia mengangguk. "Berjauhan denganmu membuatku gila. Aku tidak tahan menanggung rindu sebesar itu. Semakin aku menghindarimu, semakin besar cinta itu tumbuh hingga akhirnya..."
"Kamu mendadak muncul di hadapanku dan memintaku kembali," sambungku. "Percayalah, aku juga merasakan hal yang sama."
Ku genggam tangan Damar. "Kita tidak bisa memusnahkan cinta itu. Kita terpaksa mempertahankannya. Meski untuk itu, kita harus saling mencintai dalam diam. Mencintai dalam kerahasiaan."
Dia menatapku lekat-lekat. "Kamu jangan pernah menyerah terhadapku. Ku mohon."
Aku mengangguk. "Jangan pernah menyerah terhadapku juga Damar."
Jika saat ini aku tidak berada di tengah keramaian, tentu sudah ku peluk pria yang sangat ku cintai ini. Tapi, aku harus bisa menahan diri. Aku tidak ingin menghancurkan hubungan yang sudah lama terjalin ini hanya karena satu tindakan bodoh.
"Sudah sore, Damar. Aku harus pulang."
Dia tersenyum. "Hati-hati ya."
Aku mengangguk.
"I love you," bisiknya.
"I love you too, Damar."
Aku bangkit berdiri dan perlahan beringsut menjauhinya. Meski tidak melihat langsung, bisa ku rasakan tatapan tajam Damar menghujam punggungku. Mencintai Damar telah menjadi pilihanku, meski berat rasanya tidak bisa melampiaskan perasaanku kapanpun aku mau. Aku hanya bisa mencumbunya di balik pintu yang tertutup, saat kerahasiaan itu tak lagi diperlukan. Meski berat, aku tetap bertahan, karena berpisah dengannya jauh lebih berat lagi.
Kami pernah mencobanya dan kami gagal.
Telepon genggam di kantongku bergetar. Segera ku ambil telepon itu dan mengangkatnya.
"Halo?" Sapaku.
"Halo, mas Heru?"
Suara Dania terdengar nyaring di ujung telepon. "Ada apa Dan?"
"Mas, nanti tolong belikan susu Tya ya. Susunya habis."
"Baiklah. Ada lagi?"
"Nggak ada mas, itu aja. Kamu cepat pulang ya."
"Iya, ini aku sudah di jalan."
Dania menutup telepon. Aku bernafas berat dan berbalik. Damar masih di sana dan matanya tak lepas dari tubuhku. Ah Damar, mengapa cintaku hanya bisa berlabuh untuk pria itu?

Love; Iif
NB: Ini cerita LGBT pertamaku
SHARE:
0 Comments

END UP ALONE!!!

Leave a Comment

Aku, Katerina Eva, 29 tahun, creative director di Big Brothers Advertising Company. Everybody knows Big Brothers, so everybody knows me.

Merujuk pada perkataan orang-orang tentang aku, maka dengan segala kebanggaan aku bisa bilang bahwa aku menarik –menarik, bukan cantik. Bagiku, menarik jauh lebih berarti ketimbang cantik- terlepas dari barang-barang mewah yang melekat di tubuhku. Aku sama seperti perempuan Indonesia lainnya, bangga dengan kulit sawo matang mereka –kata pria-pria bule kenalanku, sawo matang terlihat eksotis- dengan tinggi yang tidak berhasil mencapai 165 cm –don’t worry, that’s why Manolo or Louboutin makes high heels- dan berat –yang selalu ku usahakan- berada di bawah angka lima. Apa lagi yang membuatku menarik? Oh jelas, posisiku. Pekerjaan yang bagi sebagian besar orang termasuk glam job –and I’m proud of it- dan memberiku akses ke segala bidang –maksudku dalam bersosialisasi-.

And then? Yeah, dengan berat hati aku terpaksa berkata: I’m single, sebuah status yang bagi sebagian besar rakyat Indonesia, terutama di generasi ‘Mas Boy’ masih dianggap tabu dan memalukan. But, hey… sekarang bukan jamannya menulis diari seperti mas Boy. Sekarang saatnya semua orang menumpahkan unek-unek mereka di blog atau mungkin twitter. Sederhananya, di masa sekarang, melajang di akhir dua puluhan bukan lagi sebuah momok menakutkan.

Balik lagi ke hidupku. Hidupku menyenangkan –siapa yang tidak melirik dengki melihatku keluar masuk Pacific Place dengan berkantong-kantong TOD’S atau Bally lalu melenggang ke Plaza Indonesia demi sepasang Jimmy Choo. Hidupku menggairahkan dengan tumpukan deadline dan ide kreatif yang selalu menguar dari batok kepalaku. Hidupku mencengangkan dengan makan malam prestisius bersama para klien menawan yang –mau tak mau- membuatku kecipratan ‘mengkilap’. Hidupku memuaskan dengan pundi-pundi rupiah yang mengalir lancar ke rekeningku.

Hidupku membuat iri semua orang bukan? Namun, bukan manusia namanya jika mereka tidak memiliki sejumput rasa iri, dan kelajanganku dijadikan kambing hitam. Mereka melihatku dengan raut kasihan ketika aku menghabiskan akhir pekan di coffee shop atau menonton bioskop sendirian. Padahal tentu saja mereka iri dengan kebebasanku –oke oke, ini hanya alibi untuk menyenangkan hatiku saja-. Tapi aku tidak ambil pusing. Persetan apa kata orang. Selama aku masih bisa menonotn DVD seharian di rumah tanpa mandi, memborong koleksi terbaru Burberry, melancong ke Singapura dan menari di sepanjang Orchard Road, atau hanya menghabiskan semalam bermanja-manja di Shangri La, maka dengan senang hati aku berkata HIDUPKU MENYENANGKAN.

***

Aku membalik kotak penyimpanan koleksi DVD –yang 98% bajakan- dan mendengus kesal. Tidak ada barang baru. Kesibukan menyiapkan iklan untuk Prudential membuatku terpaksa alfa mengunjungi mang Ujang, tukang DVD langgananku di daerah Glodok sana. Semua koleksi yang ku punya –didominasi cerita comedy, romantic, tragedy, and love story- sudah habis ku lahap.

Aku terduduk lemas di atas lantai linoleum coklat apartemenku. Di depanku menjulang televisi flat screen dan seperangkan home theatre mewah yang baru ku beli tiga bulan lalu. Aku berkaca di layarnya yang tidak menyala. Bisa ku lihat wajah cemberutku di sana. Mati gaya di hari Minggu yang cerah, itulah aku. Baru ku rasakan hidupku sedikit menyebalkan.

Ku putar otak mencari cara melepaskan diri dari kebosanan ini. Senyum cerah menggelayuti wajahku ketika sebuah ide –sederhana memang- melintas di kepalaku. Girls Day Out! Apa lagi yang menyenangkan bagi seorang perempuan lajang selain tertawa bersama teman-temannya?

Segera saja ku seret tubuhku ke atas sofa dan merogoh ke lipatan-lipatan sofa. “Dimana kamu Berry?” tanyaku pelan sambil terus mencari-cari. “Yup, ketemu,” sorakku ketika jari-jariku menyentuh sebuah benda persegi dengan sederet tombol di atasnya. Segera saja ku tarik tanganku dari bawah tumpukan bantal sofa.

My Blackberry, my soulmate, meski sudah penuh goresan di sana sini.

Ku rebahkan tubuhku di atas sofa bermotif macan tutul –I love animal prints. Eksotis- dan membiarkan kakiku terayun-ayun di ujungnya. Ku geser-geser trackball Berry mencari nomor kontak teman-temanku.

“Jemma,” aku bergumam pelan ketika trackball berhenti di nama Jemma Ariani. Aku menimbang-nimbang sebentar kemudian menggeleng. Sekarang hari Minggu, dan Jemma selalu menasbihkan hari Minggu sebagai ‘Family Day’ semenjak jaman kuliah dulu. Bagi Jemma, keluarga adalah segalanya dan mustahil dia mau menyeret bokongnya ke apartemen temannya yang tengah mati gaya di hari Minggu yang cerah ini.

Aku kembali menggeser trackball. Mataku tertumbuk pada nama Riska Maria. Otomatis aku bergidik ngeri. Menelepon Riska sama saja mengizinkan telingaku dihinggapi segala hal seputar ASI, susu formula, diapers, Mother and Care, dan tangisan bayi. Bayi, neraka dunia nomor dua, jelas bukan pilihan yang tepat.

Trackball kembali ku gerakkan. Kali ini berhenti di nama Tira Walalangi. Tira, teman yang memiliki kesamaan mendekati 80% denganku, sepertinya pilihan yang tepat. Baru saja aku akan menekan tombol dial ketika ingat sekarang hari Minggu. Aku mendengus. Tira pasti akan mencecarku dengan kehebatan permainan ranjang pria yang baru saja ditemuinya di bar semalam, bahkan sebelum aku sempat mengucap “hallo”. Sebagai perempuan normal yang sudah lama tidak merasakan sentuhan pria, mendengarkan cerita seputar aktivitas seks orang lain merupakan neraka dunia nomor satu.

Aku mencoret nama Tira, meski nama Ranita yang muncul setelahnya juga tidak memberikan solusi. Ranita hidup 24/7 untuk pekerjaan dan aku muak terus-terusan dibombardir perihal kerja olehnya. Keputusasaan hampir mencegatku ketika tanpa sengaja aku melihat nama Aryo Aribowo. Ryo, satu-satunya pria dalam lingkaran pertemananku. Aku tersenyum girang dan langsung saja menelepon Ryo. Namun, segera ku urungkan niat itu ketika pikiranku melayang ke kejadian bulan lalu, saat aku dan Ryo memanjakan diri di salon dan kami dikejutkan dengan kehadiran seorang pria yang seolah-olah baru keluar dari halaman fashion spread Esquire. Totally hot. Namun sayangnya pria itu sama sekali tidak melirik dadaku, alih-alih menatap area selangkangan Ryo seraya menahan liur. Damn!

Aku membanting Berry ke atas meja kopi. Mati gaya di hari minggu yang cerah benar-benar memuakkan. Ku edarkan pandangan ke sekeliling apartemen yang tertata minimalis. Ketika mataku tertumbuk pada rak buku menjulang di dekat pintu kamarku, sebuah ide melintas. Ke toko buku sepertinya ide yang bagus. Tanpa pikir panjang, segera ku seret tubuhku ke kamar mandi, memecahkan rekor mandi pagi tercepat di hari Minggu –sekedar info, kadang aku tidak mandi seharian di hari Minggu-.

***

Kalau seorang perempuan sepertiku mengunjungi toko buku, dimanakah dia berada? Jawabannya hanya dua: rak majalah dan rak khusus novel dewasa yang menjanjikan kehidupan percintaan serba sempurna. Aku bersyukur FPI tidak melirik dunia literatur dan memberantas novel-novel ini. Bisa mati meranggas aku jika mereka mulai melirik area ini.

Seolah terlatih, tanganku mengambil beberapa novel, membaca sinopsisnya, lalu memutuskan untuk membelinya atau tidak dalam kurun waktu kurang dari satu menit. Ketika kantong belanja sudah terasa berat, aku baru beralih ke rak majalah, menyambar Cosmopolitan edisi terbaru dan segera melenggang ke kasir.

“Selamat siang. Hanya ini belanjaannya?” sapa kasir yang ku taksir baru lulus SMA itu.

Aku mengangguk. Dengan cekatan si Kasir mengeluarkan belanjaanku dan –tanpa terduga- menahan senyum sambil sesekali melirikku. Dilihatnya semua novel pilihanku dan aku berkali-kali.

“Single, right?”

Lancang juga anak ingusan ini. Pasti dia belum pernah merasakan amarah perempuan lajang ketika disinggung perihal kelajangannya.

“Is it your business?” tanyaku dingin.

Pemuda ingusan itu hanya menahan tawa sembari menghitung total belanjaanku. “Rp 265.000.”

Ku keluarkan kartu kredit dari dalam dompet sambil terus menantang pemuda ingusan itu. Ingin rasanya aku mempraktekkan apa kata Meg Cabot dalam novel-novelnya, menggoda pemuda ingusan ini habis-habisan hingga dia tidak mampu berkutik, lalu mendepaknya dari ranjangku tanpa perasaan iba sama sekali. Namun, ketika pemuda ingusan itu mengembalikan kartu kreditku, aku tersadar bahwa ini Indonesia, tempat di mana apa yang diajarkan Meg Cabot hanya bisa diwujudkan di khayalanmu saja.

“You are what you read,” ujar si kasir itu lagi.

Ku tatap dia sambil menaikkan sebelah alisku. Sebuah senyum miring tersungging di bibirku. Selang sepuluh detik, dengan sedikit dramatisasi, ku turunkan kaca mata hitam yang terparkir di kepalaku hingga menutupi mata, lalu melenggang dengan dagu terangkat –cara ini selalu berhasil membuat orang lain terintimidasi-.

***

Terberkatilah Helen Gurley Brown atas penemuannya yang luar biasa, Cosmopolitan! Dan, terberkati juga seluruh awak Cosmopolitan yang berhasil menghadirkan pria-pria seksi nan matang sekaligus menantang di setiap edisinya. Apakah ada hiburan bagi perempuan lajang selain memelototi tubuh seksi berotot dengan bulu-bulu halus dan telanjang secara gratis dan tidak harus membuatmu mengangkat bokong dari sofa hangatmu? Jawabannya, tentu saja tidak. Dan, adakah yang bisa menahanmu meneteskan air liur ketika memandangi pria-pria itu berpose seksi dan menantang sebanyak delapan halaman lebih? Tentu saja tidak. Jika saja aku tidak ingin disebut maniak, mungkin aku sudah memajang poster pria seksi telanjang dada hadiah dari Cosmopolitan di dinding kamarku.

“Fiuhhh….” aku menarik nafas dalam-dalam dan menutup mata. Siapa bilang hanya pria yang bisa turn on ketika membalik Cosmopolitan? Perempuan juga.

Capek dengan kelebatan fantasi akibat membaca majalah, aku melempar majalah tersebut ke lantai dan mengambil kantong belanjaan. Secara acak, ku keluarkan sebuah novel dari dalam kantong tersebut. “Oke, mari kita lihat apa yang bisa diberikan Nora Roberts untukku.”

***

Amanda diam di tempatnya. Dia tahu, tidak seharusnya dia berada di sini, di kamar ini. Namun, kakinya tidak bisa di ajak kompromi. Dia seolah terpaku, tidak bisa berbuat apa-apa.

“Amanda. Honey.”

Suara serak Nicholas menyeruak memasuki ruang pendengarannya. Pria itu berdiri tidak jauh dari tempanya terpaku. Nicholas masih tampak sama seperti sepuluh tahun lalu, masih berbahaya di balik aura seksi yang dipancarkannya. Namun, Amanda berusaha memasukkan fakta menyakitkan ke ingatannya, bahwa Nicholas sudah tidak sendiri lagi. Ada Deborah yang dikenal semua orang sebagai istrinya.

Amanda melihat Nicholas bergerak mendekatinya. Hanya dalam satu kali sentakan, tubuhnya sudah berpindah tempat ke dalam pelukan pria itu. Aroma aftershave yang sangat jantan menggelitik penciumannya. Dagu Nicholas yang kasar akibat bercukur bergerak maju mundur di lehernya. Sesekali bibir tipis Nicholas mendarat di kulitnya, memberikan sensasi luar biasa, dan membuatnya kian sulit untuk melepaskan diri dari pelukan Nicholas.

“Sial,” gerutuku. Ku lempar novel itu ke lantai. Terkutuklah Nora Roberts dengan segala romansa yang diciptakannya.

Seharusnya aku tahu, membaca novel atau menonton film romantis hanya akan membuatku sadar akan kesepianku. Kapan terakhir kali aku merasakan kejang akibat sentuhan pria. It’s long time ago. Dan selama bertahun-tahun aku terus menunggu dan menunggu datangnya pria ke hadapanku. Berlutut lutut di hadapanku. Mengatakan bahwa dia mencintaiku dan tergeletak tak berdaya jika aku tak ada di sisinya. Aku selalu berkhayal pria-pria Cosmopolitan itu tiba-tiba berlompatan keluar dari halaman majalah dan mewujud nyata di hadapanku. Menunggingkan sebaris senyum nakal. Menatapku dengan tatapan menggoda. Merayuku untuk segera takluk dalam pelukannya.

Bukan sekali dua kali juga aku membayangkan Mark –rekan kerjaku yang separo Inggris itu- muncul di pintu apartemenku. Lalu, dengan leluasanya Mark menguasai tubuhku, dan aku akan menggelinjang bahagia dalam pelukannya. Aku juga tidak menolak jika ternyata yang hadir adalah Samuel, personal trainer-ku. Bukankah pria itu juga sering mampir dalam fantasiku? Pikiran dia yang membopongku ke kamar di tengah sesi treadmill sungguh menggoda, dan aku hanya bisa gigit bibir ketika pikiran itu menghinggapi pikiranku saat Samuel dengan seriusnya melatih otot-ototku. Atau mungkin Christian, atasanku. Meski wajah Batak-nya terlihat tegas, posisinya yang mapan seolah mampu membuat perempuan manapun rela memelerotkan celana mereka.

“Uhmmm…” Aku bergerak gelisah dalam usahaku untuk tidur.

Bagaimana jika Christian memelukku di tengah presentasiku? Bibirnya yang tipis itu bermain di leherku, membuyarkan konsentrasiku. Ruangan meeting yang sunyi tentu sempurna untuk permainan kami. Perasaan takut tertangkap basah tentu semakin memacu adrenalin kami. Lalu, akhirnya aku hanya bisa mengerang puas di pelukannya.

Bagaimana jika aku benar-benar mempraktekkan perkataan Meg Cabot dan merayu pemuda ingusan di toko buku tadi? Aku ingin tahu seperti apa rasanya pemuda tanggung itu. Mungkin aku harus mengajarkannya terlebih dahulu. No problem. Bermain perlahan-lahan sepertinya juga menjanjikan klimaks yang luar biasa.

Shit,” umpatku kesal. Mengapa pikiran-pikiran ini selalu merongrongku? Aku benci jika otakku mulai mengeluarkan racun seperti ini. Tapi…

Thomas yang duda itu masih terlihat seksi di mataku. Berkali-kali meeting dengannya hanya diakhiri dengan ciuman di pipi. Tentu sangat menggoda jika dia menyeretku ke mobil mewahnya dan mencumbuku disana.

“Stop it, Eva!” Ku peringatkan diriku sendiri.

Pria-pria itu hanya ada dalam imajinasimu. Sejak dulu selalu begitu. Itu sebabnya kau berakhir seperti ini, sendiri dalam kesepianmu dan khayalanmu. Eva kecil dengan sayap mungil di punggungnya berdiri galak di hadapanku, menyuruhku berhenti berpikir yang tidak-tidak.

Teruskan sayang. Tidak ada salahnya kau berpikiran tentang mereka. Mereka diciptakan untuk memuaskanmu. Bayangkan otot bisep Fabio yang menarik, rahang tegas Christian, senyum memikat Thomas, atau mulut kurang ajar pemuda ingusan di toko buku itu. Pemuda itu pasti tidak bisa berkata apa-apa jika kau membungkamnya dengan ciumanmu. Eva kecil dengan trisula di tangan kirinya berdiri menyeringai di hadapanku.

“Together under a blanket, hugging and kissing, and rainy outside. And don’t forget, Clayderman in a stereo,” gumamku resah dengan bayang-bayang Fabio, model yang baru saja ku lihat di Comsopolitan, bermain di pelupuk mataku yang tertutup.

Aku tersenyum puas.

***

“Eva sayang, ayo bangun.”

Aku menggeliat manja. Berat rasanya untuk bangkit dari atas kasur yang nyaman ini. Bahkan untuk sekedar membuka matapun aku enggan.

“Sayang, nanti kamu telat lho!” Sebuah suara serak menggelitik kupingku, membuatku semakin malas untuk beranjak.

“Eva…”

“KRINGGGGGGGGGGGG!!!”
Lengkingan tidak manusiawi dari jam weker di samping tempat tidur membuatku terlonjak kaget. Ku tatap sekeliling, mencari-cari si pemilik suara seksi yang membangunkanku tadi. Tidak ada siapa-siapa. Bahkan, tanda-tanda kehadiran orang lain pun tidak ada.

Aku menguap dan langsung tersadar bahwa si pemilik suara seksi hanya ada dalam khayalanku saja. Aku tertawa sumbang dan melirik jam. Pukul enam tepat.

Sambil terus menguap aku menyeret langkah ke kamar mandi. “Busy Monday, come to mama,” ujarku. Tepat di depan pintu kamar mandi, aku berhenti, menggeleng-gelengkan kepala seraya mengusir bayangan seorang pria seksi tengah menungguku di bawah guyuran shower.


NB: Cerita ini terlintas ketika saya tengah ngopi-ngopi bersama teman say Ridha. Seperti biasa, saya meracau tentang semua khayalan saya. Lalu, tanpa basa basi, Ridha berkata "Kak, kalau lo terus-terusan kayak gini, you'll end up alone." Dan pikiran mengerikan -seperti yang tertuang di cerpen ini- membuat saya bergidik. Starbucks pun seolah berubah menjadi mushalla dan membuat saya berdoa "Jangan sampai... Jangan sampai..."

love, iif

SHARE:
0 Comments

Ruby's Wishes (Side Story): Adrian and Lucy

Leave a Comment

"Mommy... Mommy..."

Sayup-sayup telingaku menangkap lengkingan suara anak kecil di dekatku. Suara itu terasa begitu dekat, seolah dia berteriak tepat di atas tubuhku. Namun, mataku terasa enggan untuk terbuka. Nyeri merambati seluruh tubuhku, membuat segala persendianku seolah mati rasa. Aku bahkan tidak bisa merasakan dimana kaki dan tanganku. Pun, untuk sekedar mendesah aku juga tak sanggup. Serasa ada batu besar diletakkan diatas bibirku.

"Mommy... Mommy..."

Lagi, lengkingan itu memenuhi indra pendengaranku. Kali ini, disusul dengan bunyi detak sepatu mendekat ke arahku.

Siapapun itu, ku mohon jangan tambahkan lagi luka di tubuhku. Kalau bisa, bunuh saja aku. Agar tidak menderita kesakitan tanpa pertolongan seperti ini.

"Oh my God."

Kembali sebuah suara menyapaku.

"Mommy, kita harus menolongnya."

"Iya sayang. Bantu mommy mengangkatnya."

Kurasakan sebuah tangan mencengkeram pundakku. Kejadian tidak mengenakkan yang menimpaku beberapa saat lalu memantik kewaspadaanku. Otomatis aku menggelinjang untuk melepaskan diri. Sebuah perbuatan yang salah karena hanya membangkitkan rasa perih di sekujur tubuhku.

"It's OK. Don't worry. I won't hurt you."

Sebuah bisikan lembut membelai telingaku. Bisikan yang ternyata mampu menenangkanku. Aku pun berubah menjadi seperti seekor kucing penurut. Ku ikuti apa katanya. Percuma jika aku berontak, toh aku juga sudah kehabisan tenaga. Selain itu, tindakanku hanya akan membuat tubuhku semakin nyeri. Lagipula, kejadian buruk apa lagi yang kuharapkan terjadi pada diriku?

***

Sinar matahari pagi menyeruak masuk dan memaksaku membuka mata. Nyala terik itu menyilaukan mataku. Lama aku berusaha menyesuaikan mataku yang telah terbiasa dengan kegelapan di tidur panjangku dengan cahaya terang yang memaksa masuk. Mataku memandang berkeliling. Entah dimana aku berada, tapi setidaknya inilah kamar ternyaman yang pernah kuinapi semenjak aku melarikan diri. Kamar itu tidak besar tapi memiliki jendela yang menghadap langsung ke perkebunan kecil. Meski segala perabotan yang ada disana terlihat usang namun masih nyaman. Kasur ini misalnya. Begitu juga dengan lemari kayu di sudut ruangan. Meskipun sudah tua tapi tetap berdiri dengan kokoh.

Aku berusaha untuk bangun. Sebuah pilihan yang salah karena nyeri kembali menguasaiku. Kepalaku terasa berat dan pandanganku berkunang-kunang. Sial! Aku benci harus terlihat lemah seperti ini.

Sebuah ketukan sepatu terdengar nyaring di pagi yang sunyi ini. Langkah itu terdengar kian mendekat. Aku menatap pintu dengan penuh kewaspadaan. Pintu berderit membuka. Sesosok perempuan menyembul di baliknya. Aku mencoba mengingat siapa dia, tapi tak ada satupun memoriku tentang dia. Namun, perempuan itu tersenyum dan melangkah memasuki kamarku.

“Kamu sudah bangun?” tanyanya lembut.

Perlahan aku mengangguk sambil terus menatapnya. Dilihat dari wajahnya, aku yakin dia hanya lebih tua beberapa tahun dariku. Tubuhnya tinggi langsing. Sekilas aku melihatnya seperti model-model yang berseliweran di majalah favorit Safir. Rambutnya berwarna coklat dan terurai panjang dengan gelombang-gelombang kecil di ujungnya. Wajahnya polos tanpa polesan make up. Dia terlihat cantik meskipun jins lusuh, sepatu boots yang dihiasi tanah kering, dan kemeja kotak-kotak usang menutupi tubuhnya.

“Aku membawakanmu sarapan,” ujarnya seraya meletakkan nampan di atas tempat tidur. Aroma teh dan roti bakar menggelitik penciumanku. Aku merasa lapar. Aku sudah lupa kapan terakhir kali makanan masuk ke lambungku.

Aku memaksakan diri untuk duduk meski harus menahan perih di sekujur tubuhku. Saat bergerak itulah aku menyadari pakaianku telah berganti. Sebuah celana kerja berwarna khaki yang terlihat sama tuanya dengan perabotan di ruangan ini dan kebesaran untukku serta sebuah kaos bergambar bendera Amerika Serikat yang sudah memudar. Ku lirik perempuan itu. Sesaat rasa malu menyinggungku ketika pikiran bahwa perempuan itulah yang mengganti bajuku hinggap di otakku.

“Aku Lucy,” ujarnya. “Anakku Megan menemukanmu terluka parah tidak jauh dari rumahku. Lalu, kami memutuskan untuk membawamu ke sini dan mengobati lukamu.”

Refleks aku teringat teriakan anak kecil yang memanggil “Mommy” beberapa waktu lalu.

“Luka-lukamu banyak tapi tidak terlalu parah. Mungkin beberapa hari lagi luka itu sudah mongering dan lebam-lebam itu juga akan hilang,” sambungnya.

Aku memandang berkeliling mencari cermin, tapi tidak ku temukan. Syukurlah. Aku tidak harus melihat keadaanku yang sepertinya memprihatinkan.

Lucy bangkit berdiri. “Aku harus berangkat kerja. Kalau kamu lapar, di dapur masih banyak makanan. Aku baru pulang nanti sore. Selama aku tidak ada, kamu tidak usah sungkan-sungkan. Anggap saja rumahmu sendiri.”

Aku mengangguk. Lucy melemparkan senyumannya dan berbalik menuju pintu.

“Nggg Lucy?” panggilku. Perempuan itu berhenti dan menatapku. “Thanks,” ujarku.

Lucy mengangguk dan menutup pintu kamarku.

***

Pintu kayu itu berderit ketika aku menutupnya. Setelah tiga hari terbaring tak berdaya, inilah kali pertama aku menjejak dunia luar. Luka di tubuhku berangsur mulai mengering dan lebam-lebam itu tidak lagi menimbulkan nyeri ketika aku menggerakkan tubuh. Aku tertawa penuh ironi mendapati Tuhan masih menyelamatkanku di saat tak sedikitpun pikiranku tertuju pada-Nya. Aku memang kehilangan semuanya, motorku, tabunganku yang tidak seberapa, pakaianku yang hanya beberapa helai, dan sebagai gantinya aku mendapatkan luka lebam di sekujur tubuh.

Pikiranku melayang ke kejadian naas yang menimpaku. Senja baru saja menjelang dan aku sedang dilanda kelaparan akut ketika melewati perempatan itu. Segerombol pria sedang mabuk-mabukan di atas mobil pick up yang penuh karat. Mereka menghentikanku, menodongkan pisau dan meminta sejumlah uang. Aku tersenyum kasihan, uang apa yang mereka harapkan dariku? Namun sepertinya senyumku menyulut kemarahan mereka. Pukulan bertubi-tubi mereka daratkan di tubuhku. Aku sendiri, dalam keadaan lelah dan lapar, sehingga tak ada tenaga untuk melawan empat pria bertubuh kekar itu. Hasilnya, aku tergeletak di pinggir jalan, dan mereka membawa kabur motor serta tasku.

Lalu, disanalah Tuhan mempertemukanku dengan Lucy melalui perantara malaikat kecil bernama Megan. Perempuan itu begitu telaten merawatku, memberikanku makanan dan tempat berteduh. Dia selalu menanyakan kabarku dan apa yang ku butuhkan. Perempuan yang sangat baik hati tapi menimbulkan hutang besar di diriku.

Dan disinilah aku sekarang, berdiri di teras belakang rumah Lucy. Mataku beredar ke sekeliling. Aku melihat sebuah chevy tua yang baknya dipenuhi oleh kentang yang masih segar. Mataku kemudian beralih ke arah perkebunan kecil itu. Perkebunan itu berukuran sedang dan sepertinya sedang memasuki masa panen. Beberapa karung berisi kentang tergeletak di pinggir kebun.

“Hai, kamu sudah bangun.”

Sebuah suara mengagetkanku. Aku beralih ke arah kanan dan melihat Lucy tampak kewalahan menyeret karung besar berisi kentang. Peluh berceceran di kulit putihnya. Rambutnya yang panjang diikat acak dan dia mengenakan pakaian kebesarannya, jins usang, kemeja kotak-kotak, dan sepatu boots selutut khusus bertani.

Lucy melemparkan karung itu ke bak chevy. Dia mengusapkan tangannya ke bagian belakang celananya. Dia berjalan ke arahku seraya menyeka peluh yang berjatuhan dengan punggung tangannya.

“Bagaimana keadaanmu hari ini?”

“Baik,” jawabku. “Apa yang sedang kamu lakukan?”

Lucy berdiri di sebelahku dan menatap kebun kentangnya. “Kentang-kentang ini harus dipanen tapi Ryan tidak bisa menolongku. Terpaksa aku melakukannya sendiri,” jawabnya dengan nafas tersengal-sengal.

Aku melirik Lucy. Sebuah nama pria meluncur dari bibirnya. Kecurigaanku mengatakan itu adalah suaminya.

“Aku bisa menolongmu.” Sudah sepantasnya, mengingat begitu banyak kebaikan yang ku dapatkan sedangkan belum satupun tenaga ku keluarkan di rumah ini.

Namun Lucy menggeleng. “Kau masih sakit, Adrian.”

“Tidak, aku merasa sudah cukup kuat untuk mengangkut karung-karung itu.”

Lucy menggeleng. “Lupakan saja karung-karung itu. Biar besok Ryan yang mengangkatnya ke mobil dan membawanya ke pembeli.”

“Ryan?” tanyaku tiba-tiba.

“Dia bekerja untukku mengurus perkebunan ini. Aku tidak sanggup mengolah kebun ini sendiri meski ya… tidak terlalu luas,” jawab Lucy santai.

Dugaanku salah. Ryan bukan suaminya.

“Mommy.”

Sebuah teriakan mengagetkanku. Sesosok anak kecil berusia sekitar lima tahun berlari ke arah kami. Seekor Siberian Husky berbulu coklat berlari disebelahnya dengan lidah terjulur. Aku menebak itu Megan meski belum pernah melihatnya secara jelas. Hanya sesekali aku menangkap sosoknya yang mengintip di balik pintu ketika Lucy datang ke kamarku. Megan memiliki rambut dan kulit yang sama dengan Lucy. Untuk ukuran anak kecil, dia termasuk menggemaskan, terlebih dengan mata hijau, pipi yang selalu memerah, dan rambut kuncir duanya. Seumur hidupku, belum pernah aku bersentuhan dengan anak kecil, tapi begitu melihat Megan, serta merta aku teringat Safir.

Aku suka anak kecil. Membayangkan bermain bersamanya, berkejar-kejaran, menggendongnya tinggi-tinggi, menyisir rambutnya, menyuapinya, meninabobokannya. Ah Adrian, itu menyenangkan sekali.

Namun, sampai di akhir hayatnya, dia tidak pernah merasakan memiliki seorang anak.

Aku tersentak dan mengembalikan diriku ke masa sekarang. Ku lihat Megan sudah berada di dekat ibunya. Anjing besar itu tampak mengendus-ngendus kakiku dan sesekali menggonggong ke arahku.

“Molly,” panggil Lucy. Dia menggelengkan kepalanya. Anjing itu seolah mengerti maksud Lucy. Dia berhenti mengendusiku dan terkulai manja di samping kaki Megan.

You must be Megan,” ujarku.

Megan menatapku takut-takut dari balik bulu matanya yang lentik.

Aku berjongkok hingga bisa sejajar dengannya. Ku ulurkan tangan kananku. “Aku ingin berterima kasih padamu karena menolongku waktu itu.”

Megan menatap Lucy sebentar. Setelah melihat ibunya mengangguk, dia menyambut uluran tanganku. “You’re welcome.”

“Aku Adrian.”

“Hi Adrian,” ujanya. Ketakutan yang sedari tadi memancar di matanya sirna sudah. Dia tersenyum hangat.

“And, who is he?” tanyaku seraya membelai leher Siberian Husky yang tengah tidur-tiduran manja itu. Anjing itu menggelinjang dan bergeliat manja dengan lidah terjulur.

Megan ikut-ikutan menggelitik anjingnya. “Namanya Molly.”

“Nama yang sangat cantik.”

Sekilas aku melirik Lucy. Dia tengah menatap Megan dengan tatapan yang… entahlah, aku tidak tahu. Ada seberkas rindu di sana. Aku memang tidak tahu banyak tentang perempuan ini, namun apakah takdir benar-benar membawaku kepadanya? Kepada keluarga kecilnya? Haruskah aku berbuat sesuatu untuknya atau cukup menganggapnya sebagai malaikat dan rumah ini sebagai persinggahan sementara? Entahlah. Kembali ku tatap Lucy. Sebuah senyum terukir di wajahnya. Dan kerinduan itu masih tercetak jelas di matanya.

***

Malam sudah meninggi tapi mataku masih belum tertutup. Meski kelelahan menguasaiku, aku tetap tidak bisa tertidur. Setelah berhari-hari hanya tidur-tiduran, semua persendianku terasa kaku ketika aku memutuskan untuk bergerak. Aku sudah merasa lelah meski baru mengangkut beberapa karung kentang ke bak mobil. Aku sudah ngos-ngosan padahal baru berlari beberapa meter bersama Megan dan Molly.

Malam kian hening di rumah tua ini. Aku bergerak-gerak gelisah di tempat tidur. Sia-sia saja, toh mataku tetap tidak bisa terpejam. Kerongkonganku terasa kering dan aku memutuskan untuk mengambil minum ke dapur. Syukur-syukur aku bisa menemukan sebotol bir di kulkas.

Penerangan yang remang-remang menyambutku. Hanya ada satu lampu yang dinyalakan, di dapur. Meski terasa janggal, setidaknya lampu itu cukup untuk menuntunku dan mencegahku berbuat keributan dengan menabrak benda-benda di rumah ini. Aku baru saja hendak memasuki dapur ketika telingaku mendengar bunyi dentang es batu beradu gelas kaca. Mataku mencari-cari asal suara.

Dan disanalah aku menemukan Lucy, duduk sendiri di sofa dengan televisi yang dibiarkan menyala tanpa suara. Sudah lewat tengah malam, dan perempuan itu masih terjaga? Kakiku refleks menghampirinya.

Lucy duduk dengan selimut menutupi paha dan kakinya. Sebuah album foto tergeletak di sampingnya. Sebotol anggur yang tinggal setengah berada di atas meja.

“Lucy,” panggilku.

Dia terkesiap dan berbalik. Wajahnya tampak sedih. Tatapannya sayu. Aku berani bertaruh dia baru saja menangis.

“Adrian? Mengapa kamu ada di sini?”

Aku bergerak menghampiri dan duduk disampingnya. “Aku tidak bisa tidur.”

Lucy memaksakan diri untuk tersenyum. “Mau menemaniku minum?”

Aku mengangguk. Lucy menyingkap selimut yang menutupinya dan beranjak ke dapur mengambilkan gelas. Sepeninggal Lucy mataku menangkap album foto yang terbuka. Dalam diam ku raih foto itu. Lucy dan Megan, beserta seorang pria yang entah siapa. Pria itu bertubuh tinggi dengan badan kekar dan kulit coklat. Matanya hijau, persis seperti mata Megan. Pria itu tengah menggendong Megan di pundaknya dan Lucy bergelayut manja di lengannya. Mereka semua tersenyum bahagia.

Pria ini pastilah suaminya.

Denting es batu beradu gelas kaca kembali mengagetkanku. Segera ku kembalikan foto itu ke tempatnya dan menatap layar televisi. Lucy menghenyakkan tubuhnya di sebelahku, langsung menuang anggur tanpa banyak bicara dan menyodorkannya kepadaku. Dia juga menuang untuk dirinya sendiri dan meneguknya. Lucy kembali menyelimuti kakinya, dan berbaik hati berbagi selimut itu denganku.

“Thanks,” ujarku setelah menghabiskan minuman itu dalam sekali tegukan. Lucy mengambil gelasku dan mengisinya kembali. Minuman itu kembali ku habiskan dalam sekali teguk. Lucy tertawa kecil. Sepertinya dia menangkap kerinduanku akan alkohol.

“Biasanya aku hanya minum sendiri tengah malam, kalau Megan sudah tidur,” ujarnya.

Ku tatap wajah sayunya. “Setiap hari?”

Dia menggeleng. “Kalau aku hanya sedang ingin saja.”

“Seperti malam ini?”

Lucy mengangguk.

“Ada yang sedang kau pikirkan?” tanyaku lagi, sambil kembali melirik foto keluarga di sampingnya. Kembali bayangan kerinduan di wajah Lucy sore itu mengusikku. Dia merindukan suaminya, simpulku, mengingat aku tidak pernah melihat seorangpun pria di rumah ini selama tinggal di sini.

“Lusa ulang tahun Megan,” jawabnya, “dan aku tidak bisa memberikan kado yang sangat diinginkannya.”

Aura kesedihan memenuhi ruangan. “Apa yang diinginkannya? Barangkali aku bisa bantu.”

Lucy menggeleng lemah. “Tidak ada yang bisa kau perbuat, Adrian. Bahkan aku pun tidak.”

“Apa yang diinginkannya?” Kembali aku mengulang pertanyaan yang sama.

Lucy meraih foto keluarga di sampingnya. Ditatapnya foto itu. Dalam keremangan malam bisa ku lihat butiran bening terkumpul di sudut matanya. “Dia menginginkan Noah,” ujarnya pelan. Ibu jarinya mengusap wajah pria di foto itu. “Tapi aku tidak bisa memberikan Noah di hari ulang tahunnya.”

Noah.

“Juga di hari-hari lainnya. Noah tidak akan ada lagi.”

“Apa yang terjadi padanya?” Ku beranikan diri untuk bertanya.

“Sama sepertimu. Hanya saja Tuhan masih berbaik hati padamu dan memberimu kesempatan untuk tetap hidup.”

Malam itu. Segerombol pemuda mabuk mengacau di ladang kami. Noah terjaga. Dia mengintip dari balik jendela dan melihat pengacau itu merusak kentang yang sudah siap panen. Noah naik darah dan memutuskan untuk mengusir mereka. Aku mencegahnya, tapi percuma membujuk Noah saat dia dikuasai emosi. “Stay here and close the door,” ujarnya sebelum pergi. Aku ingin menyusulnya tapi dia mencegahku. Aku pun hanya bisa melihat tubuhnya didorong kian kemari seperti bola, dipukuli hingga akhirnya tergeletak bersimbah darah. Aku segera berlari keluar, tapi di pintu kamar, aku melihat Megan. Dia menangis dan menggigil ketakutan. “Daddy,” ujarnya. Ku urungkan niat untuk keluar. Aku tidak ingin membahayakan Megan. Menjelang pagi, setelah para pengacau itu pergi, aku keluar dan mendapati Noah dalam keadaan memprihatinkan. Aku membawanya ke rumah sakit. Dia sempat koma selama beberapa hari sebelum akhirnya meninggal.

Ku lihat Lucy mulai terisak. Dadanya naik turun menahan sesak. Air mata bergulir di pipinya. Ku raih dia ke dalam pelukanku dan ku biarkan dia membagi kesedihannya disana. Sejenak, kesedihan yang telah lama ku pendam, menyeruak keluar. Kami berbagi takdir yang sama, menyaksikan orang yang sangat kami cintai meregang nyawa dengan cara yang tidak sepantasnya. Namun, setidaknya Lucy masih memiliki Megan untuk bertahan, sementara aku? I have nothing.

“I miss him,” bisik Lucy.

“I know,” balasku dalam bisikan. “Aku paham perasaanmu. Sesak yang kau rasakan setiap kali mengingat orang yang kau cintai dan kau tidak bisa berbuat apa-apa.”

Lucy memelukku, melampiaskan semua tangisannya. Aku mengusap punggungnya yang berguncang hebat akibat tangis. Hanya ini yang bisa ku lakukan, sama seperti yang dilakukan Ruby setiap kali aku menangis untuk Safir.

Emosi menguasai Lucy, emosi yang terus dipendam dan disembunyikannya di balik topeng ketegaran demi putrinya, Megan. Lama Lucy menangis hingga akhirnya tubuhnya melemah dan bahunya tidak lagi berguncang.

Dia melepaskan diri dari pelukanku. Diraihnya botol anggur tapi segera ku cegah. “Kau sudah terlalu banyak minum,” ujarku dan menjauhkan botol itu dari jangkauannya.

“Lucy,” panggilku. Dia menoleh. “Noah tidak akan kembali, tapi kau bisa menghadirkannya di hari ulang tahun Megan.”

“Caranya?”

“Kau tahu itu,” sahutku, “dan izinkan aku membantumu.”

***

Lucy sedang berlepotan tepung ketika aku memasuki dapur. Dia hanya menyapaku sekilas sebelum kembali memusatkan perhatan pada adonannya.

Aku mengambil sebotol air mineral dari dalam kulkas. “Aku pergi sebentar,” ujarku. Lucy tidak bertanya lebih lanjut. Dia sibuk menyamakan apa yang tertera di dalam buku resep dengan adonan di ats meja.

***

“Adrian, apa yang kau lakukan?”

Aku melirik ke bawah. Ku lihat Lucy sedang berkacak pinggang dan mendongak ke atas menatapku. Aku tidak bisa menjawabnya karena tengah menggigit tali besar dan sibuk memanjat pohon.

HAP! Aku sampai di sebuah ranting yang lumayan besar. Ku injak-injak ranting itu untuk membuktikan ketahanannya. Cukup kuat, pikirku. Tanpa berlama-lama aku berjalan di atas ranting hingga kemudian berhenti di tengah-tengahnya. Aku mendudukkan diri di atas ranting dan mulai melepaskan tali dari gigitanku. Ku ikatkan tali itu menjadi dua simpul. Setelah memastikan simpul itu terpasang dengan erat, aku menjatuhkan tali itu hingga menjuntai, tepat di hadapan Lucy yang masih menatapku dengan dahi berkerut.

Aku kembali menuruni pohon dengan cepat.

“Adrian,” panggil Lucy lagi.

Aku tidak menghiraukannya dan segera berlari menuju chevy yang terparkir tidak jauh dari dari rumah. Lucy masih menatapku awas, berusaha menerka-nerka apa yang sedang ku perbuat.

Tatapannya terbelalak ketika melihatku kembali sambil menenteng sebuah ban mobil bekas. Bibirnya menganga menahan kaget. Aku hanya melemparkan sebaris senyum dan kembali berkutat dengan tali yang ku pasang di pohon. Ku ikatkan tali itu di kedua sisi ban hingga terbentuklah sebuah ayunan sederhana.

Noah pernah berjanji akan membuatkan ayunan dari ban mobil bekas untuk Megan.

Begitu pekerjaanku selesai, aku berbalik dan menatap Lucy. Dia terpekik melihat ayunan sederhana itu. Refleks dia berlari memelukku.

“Thanks Adrian. Terima kasih,” ujarnya senang.

Aku tersenyum. Perasaan senang dan puas menelusup masuk ke rongga hatiku.

***

Megan terpekik riang tapi takut-takut ketika aku mendorong punggungnya dan dia terlempar tinggi ke angkasa. Tangannya memucat akibat terlalu keras mencengkeram tali penyangga ayunan itu. Meski takut, Megan selalu memintaku untuk mendorongnya lebih kuat.

“Mommy,” teriaknya.

Aku melihat Lucy tengah berjalan menuju ke arah kami sambil membawa seloyang kue dan lilin berbentuk angka lima di atasnya. Molly berlari di sebelahnya dengan lidah terjulur.

“Saatnya potong kue sayang,” ujar Lucy.

Aku menghentikan permainan ayunan Megan dan membopongnya turun. Megan cemberut karena keasyikannya diusik. “Nanti kita lanjutkan lagi,” ujarku dan mampu membuat gadis kecil itu tersenyum lebar.

Ayunan itu begitu mengusik perhatiaannya, sampai-sampai kue ulang tahunnya tidak terlalu diperhatikan. Dia memadamkan api hanya dengan satu kali tiupan. Dia mencium pipi Lucy, dan mencium pipiku juga. Dia memotong kuenya, menyerahkan potongan pertama untuk Molly, potongan selanjutnya untuk Lucy, kemudian untukku. Dia menghabiskan kuenya dengan lahap. Begitu kuenya habis, dia menarik tanganku dan merengek ingin main ayunan lagi.

Aku dan Lucy hanya tertawa. Segera saja ku gendong dia dan ku bawa ke ayunan. Lucy mengikutiku. Berganti-gantian aku dan dia mendorong tubuh Megan. Megan berteriak girang, ditingkahi gonggongan Molly yang ku artikan sebagai nada iri.

Lucy tersenyum puas. Dia menatapku dan mengecup pipiku lembut.

Darahku berdesir menerima kecupan itu. “Terima kasih Adrian. Karenamu, aku bisa memenuhi impian Megan,” ujarnya.

Impian. Kata itu menelusup masuk ke rongga otakku, membuatku terlempar mengingat Ruby. Dan satu impiannya yang belum ku penuhi.

Hutangku.

Ku lihat Lucy yang tertawa lepas bersama Megan. Lucy. Perempuan itu tetap berusaha bertahan dalam kesedihannya, berusaha tenang dalam kegamangannya, berusaha tabah dalam sedih dan luka hatinya. Semuanya demi Megan. Ku alihkan pikiran kepada diriku sendiri. Aku gagal bertahan dalam kesedihanku, gagal melepaskan kegamanganku, larut dalam sedih dan luka hatiku. Setidaknya, begitulah aku jika tidak ada Ruby disampingku.

Namun, aku meninggalkannya dengan alasan tidak ingin menyakitinya lebih jauh.

Namun, aku juga telah terlanjur berjanji padanya.

Hutangku.

Ku rasakan genggaman hangat di tanganku. Lucy berdiri di hadapanku dengan senyum hangat di wajahnya. “Kau ingin pulang Adrian?”

Pulang? Entahlah. Kata ‘pulang’ tidak berarti apa-apa bagi pria tanpa tujuan sepertiku.

Genggaman Lucy di tanganku kian erat. “Pulanglah, Adrian.”

“Aku tidak punya rumah,” sahutku lirih.

“Jelas kau punya,” sergahnya. Satu tangannya yang bebas menunjuk dadaku. “Hatimu akan menuntun langkahmu, Adrian.”

Ku tatap Lucy. Dia balik menatapku yakin.

Aku harus melunasi hutangku.

Keputusan itu mengalir begitu saja, dan aku tidak berniat mencabutnya.

“Thanks, Lucy.”

Aku menatap ke kejauhan, ke suatu tempat di mana ada seseorang yang menungguku. Mungkin, kesanalah aku harus pulang.

GUKK! Gonggongan Molly seakan menjawab pertanyaanku.


NB: Akhirnya saya melanjutkan kisah Ruby juga. Semoga kehadiran tokoh baru bernama Lucy bisa diterima. Untuk keseluruhan cerita, bisa dilihat di kategori Ruby's Wishes. Selamat menikmati.

SHARE:
0 Comments
Next PostNewer Posts Previous PostOlder Posts Home
BLOG TEMPLATE CREATED BY pipdig