Once Upon A Rainy Day

1 comment
Hari ini hujan turun lagi, membuat aku yang tadinya sudah bersiap pulang terpaksa harus mendekam disini untuk jangka waktu yang aku sendiri tidak bisa menerkanya. Hujan kali ini begitu lebat, di selingi desiran angin yang mampu membuat pohon bergoyang dan dedaunan melayang-layang di angkasa. Pemandangan yang indah sebenarnya. Belum lagi aroma yang ditimbulkannya, ketika hujan mulai menyapu jalanan beraspal dan menebarkan aroma tenang yang memabukkan. Suasana yang menyenangkan, sebenarnya. Sekaligus menyakitkan.Menyakitkan, untuk diriku.
Karena setiap kali hujan turun, setiap kali itu pula aku teringat dia. Dia yang sekarang entah berada dimana. Dia yang pernah menjadi bagian terindah dalam hidupku, mengajakku mengecap manisnya percintaan sekaligus mendorongku ke jurang sakitnya dikhianati. Dia yang pernah menyempurnakan hidupku dengan kehadirannya, dia yang kukira adalah anugrah yang diberikan Tuhan untukku, dan dia yang melumuri hari-hariku selanjutnya dengan tetes air mata.
Dia yang seharusnya ku benci tapi sampai detik ini aku masih terlalu mencintainya, begitu memujanya, dan masih takluk di hadapannya. Meskipun keberadaannya tidak lagi ku ketahui, meskipun aku tahu bahwa diamanapun dia berada, ada sesosok makhluk beridentitas perempuan di sampingnya. Pahitnya pengkhianatan, sakitnya dicampakkan, tidak sebanding dengan kebahagiaan kecil yang pernah ku resapi.Bersama dia...

***

Setiap orang pasti memiliki saat-saat terindah dalam hidupnya. Penyebabnya pun beragam. Dan aku juga demikian. Saat terindah dalam hidupku adalah ketika aku menyadari orang yang ku cintai, yang selama ini memenuhi setiap seluk beluk ruang imajinasiku, menemani fantasiku, ternyata merasakan hal yang sama denganku. Sama-sama mencintai, adakah yang lebih sempurna daripada hal itu? Menurutku tidak, setidaknya untuk saat ini. Berjalan di sampingnya, menggenggam tangannya, menikmati setiap tatapan penasaran orang-orang yang kami lewati. Ah, aku sungguh menikmati euforia ini. Semoga saja hal ini bisa berlangsung selamanya. Jika selama ini aku selalu menghabiskan senja sendirian, menatap butir-butir mutiara di tengah danau di belakang kampusku, menikmati angin yang membelai manja bougenville, mendengarkan burung saling berceloteh atau sekedar menatap langit yang semburat oranye, maka sekarang ada dia. Satu hal yang membuatku semakin jatuh cinta kepadanya adalah kesediannya meluangkan setiap sore demi aku, di bawah naungan pohon, tidur telentang di hamparan rumput berlatar belakang langit senja dan berhadap-hadapan dengan danau yang beriak tenang. Dia juga bisa merasakan kedamaian seperti yang selama ini kurasakan.
"Ah, Melody. Seharusnya kita bertemu lebih awal," ujarnya di suatu sore.
"Mengapa?"
"Aku sering merasa bosan dengan kebisingan yang terjadi di sekitarku, setiap orang terlalu menuruti egonya masing-masing sampai-sampai tidak ada tempat untuk toleransi. Aku ingin kabur, ke suatu tempat yang bisa membuatku tenang, meski sekedar untuk mengistirahatkan pendengaranku dan memejamkan mata. Aku ingin ketenangan. Dan aku baru merasakannya sekarang, setelah bertemu kamu, setelah kamu rela berbagi tempat ini denganku."
Ah, Pandawa. Jangankan tempat ini, aku rela berbagi apapun dengan kamu, seandainya kamu tahu itu.
"Terima kasih ya."
"Untuk apa?" Aku tidak mengerti mengapa dia mengucapkan terima kasih kepadaku. Aku merasa tidak melakukan apa-apa yang membuatku berhak menerima ucapan itu. "Untuk telah merelakan dirimu untuk ku miliki, untuk berbagi denganku, untuk ketenangan yang kamu hadirkan di kehidupanku." Dia tersenyum dan senyumnya langsung merasuk ke hatiku. Dia menggenggam tanganku dan mengajakku ke dalam kebisuan. Kami pun menikmati rembang petang ini dalam keheningan, keheningan yang kami sukai karena aku tidak butuh kata-kata karena aku telah mendapatkan apa yang kuinginkan. Cintanya. Cinta Pandawa.

***

Memiliki Pandawa adalah anugrah terbesar di hidupku. Aku percaya hal ini tidak terlepas dari permainan tangan Tuhan, dan untuk itu aku sangat bersyukur kepadanya. Sama seperti aku bersyukur karena dia telah menghadirkan hujan di siang ini setelah hari-hari yang kering kerontang. Aku menyukai hujan dan aku baru menyadarinya setelah Pandawa masuk ke kehidupanku. Dia bercerita bagaimana hujan mampu memberinya kesempatan untuk merenung. Bagi sebagian orang, hujan adalah siksaan. Tapi tidak bagi Pandawa. Hujan yang memerangkapnya membuat dia bisa memanfaatkan waktu untuk merenung. Merenung mengenai apa saja. Dan aku juga melakukan hal yang sama. Terperangkap di dalam kelas karena hujan yang dengan derasnya menghantam bumi memberiku kesempatan untuk merenung. Berkontemplasi. Memikirkan semua hal. Apa yang sudah aku dapatkan di sepanjang eksistensiku? Puaskah aku atas apa yang aku miliki sekarang? Tidak, aku masih punya banyak mimpi dan hari-hari dihadapanku masih terhampar luas untuk kujejaki dengan upaya meraih mimpi. Dan pada akhirnya hanya satu keinginanku. Memiliki rumah mungil di pinggir danau tempat aku dan Pandawa bisa memadu kasih di masa akhir kami nanti. Semoga..
Ah, Pandawa. Dirinya selalu menghadirkan senyum untukku. Salahkah aku terlalu memujanya? Dosakah aku begitu mencintainya? Tidak. Aku melakukannya dengan senang hati. Kenapa? Karena dia pantas untuk mendapatkannya. Dia adalah ukiran terindah yang pernah diciptakan Tuhan. Kehadirannya memberikan kedamaian, setidaknya untuk diriku. Setiap nasihatnya adalah sajak terindah yang menjadi penuntunku ke arah yang lebih baik. Dia rela berlari menyongsongku padahal aku hanya mendekat beberapa langkah ke arahnya. Meskipun dia sering menghadiahi aku dengan kebisuan, aku tidak keberatan karena itulah yang aku inginkan. Tanpa ada kata-kata, yang ada hanya aksi. Karena menurutku, kata-kata akan menguap begitu cepatnya tapi setitik kecil aksi yang dilakukannya akan membekas untuk waktu yang lama. Hujan masih turun dengan derasnya dan aku masih berada di sini, sendirian, tanpa teman. Tidak apa. Toh, sebentar lagi, teman tercintaku akan datang. Pandawa, tidak lama lagi dia akan berada di sini, menjemputku dengan sebuah payung hitam melindungi sosoknya.
Nah, itu dia. Berlari menyeberangi lapangan di bawah perlindungan payung hitamnya. Aku berdiri dari dudukku, berjalan ke ujung teras, tinggal selangkah lagi sebelum tubuhku terbalut dalam rintik hujan. Aku menunggunya. Lalu, berdua kami menjejak tanah di bawah lindungan payung hitam, menuju tempat rahasia kami, tempat yang menghadirkan ketenangan untuk kami. Dan kami saling membisu. Hanya ada derauan hujan memenuhi rongga pendengaranku dan aroma hujan yang berbaur dengan aroma tubuhnya. Indah.

***

Melody...
Di hari pertama aku berjalan disampingnya, hanya satu keinginanku: selamanya bersama dia. Mengapa? Karena disisinya aku merasa tenang. Aku ingin menghabiskan setiap sore di pinggir danau kesayangannya, menatap mentari yang perlahan-lahan turun meninggalkan bumi. Aku tidak butuh kata-kata, apalagi basa basi, dan tentunya: tak ada bising.Sebuah kebahagiaan yang terlalu sempurna untukku. Aku mencintai Melody, segenap hatiku, dan itu pasti. Tapi, apa yang bisa kulakukan jika cintaku pada Melody harus bersinggungan dengan baktiku pada orang tua, terlebih ibuku? Sebuah pilihan, yang apapun hasilnya, akan menyakiti salah satu pihak. Tidak, aku tidak bisa. Ini terlalu berat untukku. Apa yang harus kulakukan jika di satu sisi aku terbayang senyum Melody dan hasrat ingin terus bersamanya sementara di sisi yang lain, rintihan ibuku yang mengiba meminta pengorbananku. Cinta atau baktiku??

***


Hidup seperti roda ternyata memang benar adanya. Jika kemaren-kemaren aku mengecap manis kasih bersama Pandawa, maka hari ini aku terisak atas pahit yang diberikannya.
Dia memutuskanku begitu saja, mengakhiri semua cerita kita. Di tepi danau ini, saat mentari bergerak perlahan menuju peraduannya dan angin membelai manja wajahku, aku harus menahan diri ketika dia memilih untuk memalingkan langkah, keluar dari jalur yang telah kita tapaki bersama selama ini. Pandawa memutuskan mulai saat ini tak ada lagi cerita di antara kita, bahwa sekarang saatnya aku dan dia mulai melangkah sendiri-sendiri, mengukir cerita kita masing-masing tanpa ada kaitan satu sama lain.
Semuanya terjadi begitu saja. Aku tak menyangka senyum ramahnya yang terukir ketika bertemu denganku tadi ternyata menyembunyikan racun di belakangnya, racun yang menikamku saat dia mengutarakan niatnya.
Tidak, ini tidak mungkin. Aku tahu dia mencintaiku. Tak hanya dari perkataan, tapi juga dari setiap perlakuannya kepadaku. Di balik ketenangannya aku bisa merasakan semburat cintanya untukku. Di balik tatapannya tersimpan harapan akan kebahagiaan kita di kehidupan nanti. Genggaman tanagnnya meyakinkan aku bahwa jalan yang kita pilih adalah benar.
Tapi ternyata aku salah. Dia memilih hal lain.
Dan itu menghancurkan aku.Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Selain menatap nanar punggungnya yang kian menjauh. Malam beranjak naik dan dia beranjak jauh.

***

“Satu alasan saja, setelah itu kamu boleh pergi.” Aku menguatkan hatiku agar suaraku yang keluar tidak bergetar. Satu alasan saja dan semoga alasan itu masih memberiku kesempatan untuk mempertahankannya.
Pandawa menatap langit. “Dia hamil, dan lelaki yang menghamilinya harus mendekam di penjara, beberapa hari menjelang pernikahan mereka. Pernikahan itu tidak mungkin dibatalkan. Dan aku harus menggantikan lelaki itu. Aku harus menikahinya.”
“Mengapa harus kamu? Masih banyak lelaki di luar sana.” Aku bersikeras menentang kenyataan ganjil itu. Ini bukan salahnya, tapi mengapa harus dia yang menanggung semua ini? Mengapa aku juga harus ikut merasakan kepedihan ini?
“Karena ibuku menangis di kakiku, memintaku untuk berkorban. Dan kakakku mengiba dihadapanku, merontokkan semua gengsinya dan memohon kesediaanku, memintaku untuk menggantikan dia meminang perempuan itu sementara dia harus merasakan dinginnya lantai penjara. Oh, mungkin penjara tak ada apa-apanya dibanding kehidupan suram yang harus kujalani nanti.”
Aku terdiam. Kenapa kakaknya harus terlibat dengan sindikat obat-obatan terlarang itu? Kenapa kakaknya harus menghamili perempuan itu? Mengapa pernikahan itu harus dirancang? Tapi, mengapa harus Pandawa yang menanggung ini semua? Kenapa aku juga harus terlibat?
“Maafkan aku…”
Seiring dengan keluarnya kata-kata itu, dia bukan lagi milikku. Besok, dia akan menjadi milik orang lain.

Oh, aku benci kenyataan ini.

***


Hujan sudah berhenti tapi aku masih enggan untuk beranjak. Setahun sudah berlalu dan setahun sudah aku menutup diri dari semua hal yang terkait dengan Pandawa. Setahun sudah aku mencoba menata kembali puing-puing hatiku. Setahun sudah aku tak lagi mendengar kabar apapun tentang dia. Meskipun di luar aku kelihatan tidak peduli, tapi sebenarnya aku sangat merindukannya.Pandawa, apa kabarmu sekarang?

***

Danau ini masih saja sepi dan tenang. Dan sore ini masih sama, berangin dan dinaungi langit oranye.
Biasanya Melody ada disini, melewatkan setiap sore disini, menatap langit dan sekedar menenangkan diri. Tapi, semuanya berubah setahun terakhir.
Dia tidak pernah datang kesini, tepatnya sejak kita berpisah. Awalnya aku berharap masih bisa melihatnya dari kejauhan, memandangnya dari balik pepohonan. Tapi nyatanya aku hanya mendapati danau kosong. Meski aku mengunjungi tempat ini setiap hari, dia tidak pernah muncul. Mungkin tempat ini terlalu menyakitkan baginya. Banyak cerita kita disini dan pengkhianatan yang ku ukir juga terjadi di tempat ini.
Ah sudahlah. Ini keputusanku. Aku yang meninggalkannya, untuk apa aku masih mengharapkannya? Toh aku yakin, sekarang dia pasti sangat membenciku. Aku, seorang pria lemah yang bahkan untuk sekedar memperjuangkan wanita yang dicintainya saja tidak bisa. Aku, seorang pria bodoh yang mau mengalah begitu saja dan tega menyakiti wanita yang sangat ku cintai. Aku, pria yang tak punya kekuatan apa-apa. Bahkan sekarang aku tak lagi merasa hidup.
Aku telah mati, satu tahun yang lalu. Saat aku meninggalkan Melody saat itulah desahan nafas terakhirku.
Sore ini aku kembali mengunjungi danau di belakang kampus –sambil terus berharap semoga ada Melody di sana-. Tapi danau itu tetap sama. Kosong.
Kosong, seperti hatiku.Dan aku membiarkan tubuh ringkihku diterpa hujan di sore hari. Aku tak merasakan apa-apa. Toh, aku sudah mati….
Lebak Bulus, @ lantai 4 Media Millenia, redaksi Sister Magazine
di sela-sela waktu kerja...
love, iif
SHARE:
1 Comments

Jangan Biarkan Aku Tertidur

Leave a Comment
Disinilah aku sekarang...
Duduk termangu di taman belakang rumah. Air kolam beriak ringan. Ikan-ikan kecil berenang lincah kian kemari. Angin bertiup pelan, memainkan kuntum bunga dan menyapa manja dedaunan. Sayup-sayup dari sudut kamar denting gitar mengalun lembut dari CD Player-ku. Dari seberang jalan, anak-anak berteriak nyaring bermain lompat tali.
Sebenarnya aku sedikit mengantuk, tapi aku tidak mau tidur. Aku tidak ingin tidur. Aku memaksa -sekuat tenaga- agar kelopak mataku tetap terbuka.
Aku tidak ingin tidur bukan karena banyaknya beban pikiranku saat ini, melainkan karena aku takut untuk tidur. Aku takut, jika aku memejamkan mata maka aku akan memimpikan dia, seperti hari-hari sebelumnya. Saat mataku terpejam, maka saat itulah dia hadir menggerayangi mimpiku. Dia yang telah menghancurkan hatiku, mengubur mimpiku dan menggoncang duniaku. Dan sekarang, setelah kepergiannya yang entah kemana, dia tetap saja masih menyiksaku dengan selalu hadir di mimpi-mimpiku.
Tidak, aku harus tetap terjaga. Aku tidak ingin terus-terusan dihantui mimpi tentang dia yang membuatku terpaksa bangun di pagi hari dengan berlinang air mata. Aku lelah. Aku lelah jika hari-hariku tetap terikat dengannya. Aku ingin bebas darinya, tidak tepatnya aku ingin hatiku bebas. Bebas dari namanya, bebas dari kenangan akan dia, bebas dari cinta untuknya, bebas dari segala hal tentang dia.
Itu harus...
Angin berhembus sedikit kencang, memainkan rambut di tengkukku dan membuatku menguap kecil. Tidak, aku menggelengkan kepalaku, mengusir kantuk yang kian menguasaiku. Aku memfokuskan pandangan pada ikan-ikan kecil di kolam. Mereka tampak bebas berenang, bercanda tawa dengan sesama mereka. Tak ada yang diam sendirian. Semuanya terlihat bahagia.
Ikan kecil itu seperti aku dulu, jauh sebelum aku mengenal dia. Jauh sebelum hari-hariku dikuasai olehnya, saat aku masih bebas berlari kemanapun sekehendak hatiku, bercengkrama dengan siapa saja. Di saat hatiku masih terasa ringan. Di saat aku masih menatap dunia sebatas hitam dan putih, tidak ada area abu-abu, tidak ada permainan perasaan di dalamnya.
Tukk... kepalaku terantuk daun pintu karena mengantuk. Lagi-lagi aku menggelengkan kepala. Ini sudah berbahaya. Aku tidak ingin takluk di tangan kantuk karena kantuk akan menggiringku ke peraduan mimpi dan dia sedang menungguku di sana.
Meskipun aku merindukannya, aku tidak ingin memimpikannya. Ya mungkin karena aku maih terlalu mencintainya dan menginginkan kehadirannya, nyata, bukan dalam angan fana bernama mimpi. Aku menginginkan kebersamaan yang pernah terjalin dulu, saat kakiku menapak beriringan dengannya, saat jemarinya bertaut erat di jemariku, saat kecupan lembutnya memenuhi hari-hariku, saat rangkulannya membuatku merasa aman dan mantap untuk melakukan apapun. Aku menginginkan kembali desahan nafasnya di telingaku saat membisiki kata cinta untukku, aku menginginkan kembali sentuhan lembutnya di sekujur tubuhku yang membuatku bergidik manja, aku menginginkan kembali senyumannya yang menghiasi pagiku, aku menginginkan kembali momen bahagia di saat kita menatap purnama pertama setiap bulannya, atau berbaring di bawah taburan bintang. Aku menginginkan itu semua.
"Gukk gukk..." gonggongan Golden Retriever milikku membuyarkan lamunanku, membuat mataku mendadak terbuka.
Apakah tadi aku sempat tertidur. Sial, itu tidak boleh terjadi....
Aku mengalihkan perhatian kepada apa saja, asalkan aku tidak tertidur. CD Playerku sudah memainkan lagu baru. Anak-anak kecil yang bermain lompat tali sudah tak terlihat lagi. Angin masih saja bertiup centil, menyentuh semua yang bisa disentuhnya. Ikan-ikan kecil tak pernah lelah, terus berenang. Dan aku? Kian di buai oleh kantuk.
Sore sudah mulai memudar. Perlahan, kegelapan malam mulai tampak. Aku menengadah menatap langit. Bintang-bintang mulai bertaburan. Di sana, beberapa meter di hadapanku terhampar taman rumput kecil tempat kita biasa berbaring bermandikan cahaya bintang. Di sana, beberapa waktu yang lalu, aku masih bisa mendengarkan bisikan cinta dari bibirnya di telingaku, aku masih bisa merasakan dia memainkan jemariku, aku masih bisa mengingat senyuman nakalnya saat melihat aku yang kesusahan merapikan rambutku yang diterbangkan angin, aku masih bisa merasakan pelukannya, kecupannya, belaiannya... dan....
Tidak, aku memaki diriku sendiri. Hentikan, jangan ingat-ingat itu lagi.
Namun, sekuat apapun aku berontak, otakku tidak mau di ajak bekerja sama. Malam ini adalah purnama pertama di bulan Juni. Purnama pertama adalah kesukaan kita. Setiap purnama pertama muncul, kita pasti akan berdiam diri menengadah menatap langit. Bergandengan tangan, atau terkadang berangkulan. Dalam hening seperti itu, hanya ada suara semilir angin, aku bisa merasakan hembusan cinta kami di udara. AKu tidak merasa takut saat itu, sedikitpun, karena aku memilikinya.
"Gukk gukk..." Golden Retriever-ku kembali menyalak ringan, tapi mataku terlalu berat untuk ku buka meskipun aku ingin segera terbangun. Tapi, aku tidak bisa karena...
Ya Tuhan, dia ada di sana. Menungguku di taman rumput. Ya Tuhan, dia memanggilku, menyuruhku mendekat. AKu mendapati kakiku berlari ringan mendekatinya. Begitu aku sampai di tempatnya, dia segera menarikku untuk berbaring di sebelahnya. Dia menjadikan lengan kirinya sebagai bantal untukku.
"Kamu tahu..." dia berbisik di telingaku, "dimanapun kamu berada, ketika kamu melihat purnama pertama, bentuknya akan selalu sama. Itu yang membuatku sangat menyukainya."
Aku tersenyum mendengar kata-katanya. Kalimat itu, entah untuk yang ke seratus kalinya dia mengucapkannya, tapi aku tak pernah merasa bosan.
"Aku akan selalu berbaring menatap purnama pertama, di manapun aku berada. Dan kamu juga akan melakukan hal yang sama. Jika hal itu terjadi, aku akan merasa bahagia karena aku tahu kamu milikku."
Tukkk... kepalaku terantuk daun pintu dan seketika mataku terbuka. Bayangannya lenyap. Aku kembali dilemparkan ke dunia nyata setelah sedetik aku bermimpi.
Aku menguap. CD Player-ku sudah berhenti memainkan lagu. Suasana hening dan ketika aku menengadah menatap langit, purnama pertama telah muncul di sana.
Dengan langkah gontai aku berjalan menuju taman rumput. Aku membaringkan diriku di sana, menjadikan lengan kiriku sebagai bantal. Tanpa bisa ku cegah, mataku perlahan-lahan mulai menutup.
Biarlah, untuk kali ini aku mengizinkan diriku untuk tertidur, untuk menikmati mimpi bersamanya karena meskipun sedikit, masih ada bagian hatiku yang membenarkan dan percaya bahwa saat ini dia juga tengah melakukan hal yang sama denganku: memandang purnama pertama, dimanapun dia berada sekarang.
Biarlah kami terhubung dan biarlah aku menemuinya dalam mimpi.
Karna sampai saat ini, aku masih mencintainya...
Teramat mencintainya...
Itu pasti..
"Gukk gukk..." Golden Retriever-ku menyalak lemah. Mungkin dia mengantuk juga. Biarlah dia tertidur juga dan menikmati mimpinya sendiri.


Bandung, 26 Juni 2010
Taman Belakang Monik House, di sela-sela Sister Takes A Trip
iif
SHARE:
0 Comments

Love You, Perfectly

Leave a Comment
p.s: Sebenarnya malam ini saya tidak tahu akan menulis apa tetapi saya sangat ingin menulis. Setidaknya ada satu tulisan yang saya hasilkan. Tapi, setelah sekian lama bermenung di depan laptop dan playlist saya sudah mengudarakan beberapa lagu, akhirnya saya sampai ke keputusan ini: mempublikasikan bagian dari kumpulan cerpen saya. Karena kumpulan ini berisi 14 judul, maka dalam tulisan ini pun saya memuat ke-14 bagian tersebut. Selamat menikmati..

`Love You, Perfectly`
Rata Penuh

The Trouble Maker
Ku ingat dirimu, ku ingat saat kau dan aku
sama-sama bermain gundu, petak umpet,
dan mencuri jambu Pak RT
diselingi gonggongan anjing Pak RT
yang marah melihat kita menggerayangi
pohon jambu Pak RT, berlari-lari
di sepanjang pematang sawah dan aku tertawa
melihat kau terjatuh dengan kepala
lebih dulu masuk ke sawah,
dan kau, bukannya menangis malah
i
kut tertawa bersamaku, hahaha…
Lalu adzan maghrib berkumandang, terdengar
suara ibu berteriak menyuruh kita pulang.
Dan, bergandengan tangan kita menuju rumah...
Cinta Monyet
Sesuatu yang pernah dimiliki dulu
selamanya mungkin akan menjadi masa lalu.
Tidak akan pernah terulang di kehidupan sekarang,
apalagi menjadi bagian dari masa depan.
Begitu pula dengan cinta yang pernah
dimiliki di kehidupan yang lampau.
Tidak akan pernah bisa dimiliki lagi
di kehidupan saat ini, apalagi nanti.
Jika cinta lama itu datang lagi,
itu hanya bagian dari euphoria masa lalu.
Pantas untuk dikenang tapi terlalu menyakitkan
untuk diharapkan lagi. Relakan…
Biarkan dia berlalu meskipun nantinya
akan terasa sakit, tapi itulah yang terbaik
Cinta Untukku Yang Selalu Sendiri
Atas nama cintakah aku harus merelakan
kau pergi? Meninggalkanku sendirian
menembus malam. Menggigil kedinginan
tanpa ada dekapan hangat darimu.
Atas nama cintakah aku harus
melewati setiap malam sendirian?
Memikirkan dirimu disana.
Apakah kau juga merasakan
hal yang sama? Kesepian yang sama?
Meskipun ku tahu apa yang kau
lakukan disana adalah atas nama cinta
agar cinta kita tetap terjaga
dan agar kau dan aku bisa tetap hidup.
Namun, haruskah kulalui setiap malam sendirian?
Aku Tidak Akan Kemana-mana
“Pergilah, gapailah mimpimu…..
Aku akan tetap disini, menunggumu.

Dan, ketika kamu kembali kesini,
aku akan siap untuk
mengucapkan janji setia sehidup
semati denganmu, bersumpah akan
mendampingimu selamanya dan
mencintaimu tanpa batas waktu.
Dan ketika hari itu tiba, aku dan cincin ini
menjanjikan bahagia ‘kan selalu jadi
milikmu. Tak ada lagi air mata.
Pergilah, raihlah impianmu…..
Aku akan tetap disini, setia untukmu.
Aku tidak akan kemana-mana…..”
Pemusik Jalanan
Dimanakah letaknya keadilan?
Benarkah keadilan tercipta untuk semua orang?
Mengapa keadilan itu tidak pernah berpihak kepadaku?
Apa aku tidak pantas mendapatkannya?
Sedikit saja, berikan aku keadilan itu.
Agar aku bisa membuktikan pada dunia
bahwa diriku tidaklah sehina yang mereka kira,
bahwa diriku masih memiliki hati.
Meskipun hanya secuil, tunjukkan padaku
wujud keadilan itu. Agar aku bisa mengatakan
pada kalian semua bahwa diriku tidaklah
serendah yang kalian pandang. Aku masih
memiliki sebongkah hati yang kupertahankan
sebagai satu-satunya milikku yang tersisa…
Love You, Perfectly
Pada suatu ketika kau datang menghiasi
hari-hariku yang hampa setelah lentera hidupku padam.
Kehadiranmu membuatku harus tetap bertahan
mengarungi samudra kehidupan karena sekarang kau milikku.
Pada suatu ketika kau berikan keajaiban untukku,
malaikat kecilku yang terus beranjak dewasa,
titipan lentera hidupku. Yang hanya dirimu
satu-satunya alasan untukku tetap bernafas,
karena apa jadinya dirimu tanpa kehadiranku?
Pada suatu ketika kuajarkan kau cinta yang sebenarnya,
cinta yang bertahan karena hati, cinta yang melahirkan dirimu.
Dan pada suatu ketika kau akan mengerti,
bahwasanya hanya karena cintalah aku mampu
menemani, menjaga dan melindungimu di sepanjang nafasku..
I'll Never Fall In Love Again
Cinta adalah anugrah terindah yang pernah
diciptakan Tuhan untuk semua manusia
di muka bumi ini. Tapi, pernahkah terpikirkan
bahwa cinta juga merupakan bencana terhebat
yang disiapkan Tuhan untuk semua manusia?
Cinta yang begitu diagung-agungkan tidak
selamanya mulia. Terkadang dia menyakitkan dan
luka yang ditimbulkannya bisa merusak kepercayaan
terhadap cinta itu sendiri. Sekali saja disakiti
oleh cinta maka lukanya akan tetap berdarah sepanjang
eksistensi manusia di muka bumi ini. Sekali saja
dikhianati oleh cinta maka kepercayaan terhadapnya
akan luntur seiring berjalannya hari dan untuk
mempercayainya kembali? It’s impossible…..
Singing In The Rain
Hari ini aku datang lagi
dengan sebuah lagu baru yang
siap untuk ku ceritakan dan kau
akan mendengarkan dengan mata
kosong seperti kemaren.
Dan aku tak ‘kan bosan menemuimu
setiap hari dengan sebuah lagu baru.
Sama seperti dirimu yang ‘tak pernah
bosan menatap gambar yang sama,
setiap hari, setiap waktu
dengan pandangan yang sama.
Hari ini aku datang lagi dengan
sebuah lagu baru dan ‘kan ku ajak kau
menyanyi bersama di bawah rintik hujan.

What Should I Do?
Menginginkanmu disampingku, menginginkanmu memperhatikanku,
menginginkanmu menjadikanku satu-satunya hal terpenting
di hatimu, apakah itu salah? Apakah itu terlalu berlebihan?
Hanya itu yang aku inginkan karena aku begitu mencintaimu.
Tapi mengapa keinginan kecil itu saja sangat sulit untuk
kudapatkan? Apakah keinginan itu terlalu berat untuk kau
wujudkan atau terlalu sepele untuk kau pikirkan?
Aku tidak mengerti. Apa yang harus aku lakukan
untuk mendapatkannya? Untuk mendapatkanmu
lagi? Katakan padaku apa yang harus aku lakukan
agar aku bisa mengerti kamu sepenuhnya?
Katakan padaku apa yang harus aku lakukan
untuk mewujudkan keinginan kecilku itu karena
tak ada hal lain yang lebih berarti selain aku mencintaimu....
100 Hari Tanpa Karissa
Mencintai dan memilikimu sudah menjadi rutinitas hidupku.
Berjalan disampingmu ibarat helaan nafas yang tidak bisa
kutinggalkan, meski hanya sedetik. Bayanganmu adalah cermin
yang menampakkan diriku karena selalu ada dirimu
di setiap bagian hidupku. Kebersamaan yang kita
rajut terlalu sederhana untuk dilupakan dalam hitungan hari.
Sekeras apapun aku berusaha melupakannya,
ingatan-ingatan akan kamu selalu menguasaiku
meskipun keberadaan dirimu tidak lagi kuketahui.
Meskipun kehadiran dirimu tidak lagi kurasakan.
Bahkan suaramu tidak lagi kudengar. Tapi dirimu
seolah-olah masih ada untukku, begitu nyata.
Membuatku berpikir, benarkah dirimu tidak lagi kumiliki,
dan semuanya telah hilang seperti pasir lepas dari genggaman?
Di Suatu hari di Bulan Desember
Aku harus pergi, sekarang. Aku harus pergi
dari kehidupanmu meskipun aku tidak menginginkannya.
Aku harus meninggalkanmu karena takdir menuntutku
untuk hidup berjauhan denganmu. Aku harus
meninggalkanmu karena waktu kebersamaan kita
hanya sampai disini. Tapi, meskipun aku tidak lagi
disampingmu, meskipun aku harus jauh darimu,
dirimu akan tetap ada dihatiku. Aku tidak akan
melupakanmu karena ku yakin kamu juga
akan melakukan hal yang sama untukku.
Ingatlah Desember ini, ketika aku harus pergi,
aku meninggalkanmu dengan sebuah janji.
Janji yang akan membawaku kembali kesini.
“Aku akan kembali, di suatu hari di bulan Desember”
Surat
Aku mencintaimu dan mengapa baru
menyadarinya sekarang? Setelah kita
menjalani waktu bersama selama ini.
Tapi, mengapa harus ada ikatan lain
yang lebih dulu mengikat kita
sebelum cinta ini muncul? Ikatan
yang tidak mungkin kuurai, apalagi
kuhancurkan walau sekedar untuk memberi
tempat bagi cinta ini. Karena kau pun
tak ‘kan pernah mengurai ikatan
itu. Karena kau tidak memiliki
perasaan cinta seperti yang aku
rasakan. Apakah ada waktu untuk cinta
atau selamanya ikatan itu akan abadi?
Pengakuan Ibu
Seharusnya aku mencintaimu, menyayangimu, tapi
aku malah membencimu. Sedikitpun tidak ada rasa
sayang dihatiku untukmu, karena dirimu, orang yang
seharusnya sangat menyayangiku, malah mengkhianatiku.
Kepergianmu meninggalkan luka yang akan tetap
menganga selama berpuluh-puluh tahun. Apapun
alasannya, kamu tidak berhak pergi dan meninggalkanku.
Seharusnya kamu ada disini, untukku, menemaniku.
Tapi kamu tidak pernah ada untukku. Hari-hariku
tidak pernah mengenal kehadiranmu dan
hari-hariku tidak pernah merasakan cinta darimu.
Seharusnya kamu tetap bertahan disini, untukku…
Seharusnya kamu tidak egois dan memilih untuk pergi…
Seharusnya, ah.. seharusnya kamu tidak pernah ada…

Merah Cinta Delima
Aku pergi bukan karena aku tidak lagi mencintaimu.
Juga bukan karena aku menyerah padamu.
Aku pergi justru karena cintaku padamu.
Agar aku bisa membuktikan diriku pantas mendampingimu
dan menghancurkan segala penghalang yang
membentang diantara kita. Kepergianku bukan
karena aku menginginkan untuk jauh darimu,
melainkan sebuah keputusan yang ku ambil
untuk mewujudkan berseminya cinta kita di atas
sebuah altar suci. Kepergianku bukan karena aku tidak
menginginkanmu melainkan karena aku sangat menginginkanmu
dan tiada hal lain yang bisa kulakukan selain
berjauhan denganmu dengan harapan suatu hari
nanti aku dan cintaku diizinkan untuk mempersuntingmu…

SHARE:
0 Comments
Next PostNewer Posts Previous PostOlder Posts Home
BLOG TEMPLATE CREATED BY pipdig